Nisluf Blog

Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Saturday 24 December 2016

TUGAS CAPITA SELECTA HUKUM DAGANG

No comments
Kapita selekta : adalah kumpulan karangan yang masing-masing menguraikan sesuatu persoalan, tetapi persoalan yang diuraikan itu termasuk dalam lingkungan sesuatu ilmu pengetahuan.(J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002).

Contoh: “Kapita Selekta Hukum Perusahaan” 

“ Kapita Selekta HukumPerdata” dsb.
 
Kapita Selekta Hukum adalah Kumpulan tulisan / karangan yang masing-masing menguraikan tentang hukum, dalam tulisan ini akan memuat pembahasan tentang pengertian hukum sebagaimana pengelompokan hukum dari aspek isi yaitu terdiri dari : 

HukumPublik 

Hukum Privat 

Dengan berbagai sub bagian dan kaitannya diantara kedua bidang besar tersebut.contoh kasus wanprestasi : apabila terdapatnya perjanjian yang didalamnya terdapat aturan bahwa penyewa harus mengganti kerugian bila merusakkan barang sewa, maka disebut wanprestasi. Hal tersebut dikarenakan telah diperjanjikan sebelumnya.

Apabila tidak tegas diperjanjikan, namun terdapat dalam norma-norma perjanjian berdasar kebiasaan atau kepatutan, maka tetap disebut wanprestasi. Sehingga Pasal 1365 KUHPerdata tidak dapat diterapkan.

 Hukum Dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan .

 Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.

 Hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. 

Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapat dimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodefikasi. Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.

Hukum Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang meruapkan perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu berlangsung asas Lex Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal yang daitur dalam KUHDagang sepanjang KUHD tidak mengaturnya secara khusus.

Hukum Dagang merupakan himpunan peraturan-peraturan yang mengatur seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KHUA Dagang dan KHUA Perdata. Hukum dagang juga dapat di artikan sebagai kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dalam lintas perdagangan.

Hukum Ekonomi meliputi peraturan dan pemikiran hukum mengenai ekonomi, baik dari aspek pembangunan, perencanaan, penataan, perlindungan kepentingan ekonomi masyarakat maupun aspek bisnisnya. Dengan demikian Hukum Ekonomi merupakan bangunan luas di mana termuat berbagai segi hukum dari kegiatan ekonomi dan hubungan ekonomi, beberapa contoh nya seperti Hukum Dagang dan Hukum Bisnis.

Contoh hukum ekonomi :

 1. Jika harga sembako atau sembilan bahan pokok naik maka harga-harga barang lain biasanya akan ikut merambat naik.

 2. Apabila pada suatu lokasi berdiri sebuah pusat pertokoan hipermarket yang besar dengan harga yang sangat murah maka dapat dipastikan peritel atau toko-toko kecil yang berada di sekitarnya akan kehilangan omset atau mati gulung tikar.

 3. Jika nilai kurs dollar amerika naik tajam maka banyak perusahaan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri akan bangkrut.

 4. Turunnya harga elpiji / lpg akan menaikkan jumlah penjualan kompor gas baik buatan dalam negeri maupun luar negeri.

 5. Semakin tinggi bunga bank untuk tabungan maka jumlah uang yang beredar akan menurun dan terjadi penurunan jumlah permintaan barang dan jasa secara umum.

Asas-Asas Hukum Dagang

Pengertian Dagang (dalam arti ekonomi), yaitu segala perbuatan perantara antara produsen dan konsumen.

Pengertian Perusahaan, yaitu seorang yang bertindak keluar untuk mencari keuntungan dengan suatu cara dimana yang bersangkutan menurut imbangannya lebih banyak menggunakan modal dari pada menggunakan tenaganya sendiri.

 Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.

“Tuduhan Praktek Dumping yang dilakukan oleh Indonesia : Pada Sengketa Anti-Dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan”

Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.

Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompokuncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.

BAHASA TUBUH (BODY LANGUAGE)

No comments
What does mean body language?

Body language meliputi :


1.    Posture


According to the advance learner’s dictionary (1999:901). Posture is defined as the way in which a person holds herself or himself when standing, walking, or sitting (Dale and Wolf (2000:19)). Suggest that your posture tells how you feel about yourself. it can say i am timid and afraid of my own shadow.

Dale and Wolf (2000:20) suggest that when  giving a speech, there are five ways radiate confidens and strange of charactare even before you open your mouth. These five ways involving posture are :

1.    Keep your spire straight and rotate your shoulder back.

2.    Keep your head arrect.

3.    Keep your hands at your side with your fingers open.

4.    Keep both feet flat on the floor and slightly apart.

5.    If you are using a lectern be careful not to berd over it or lear or it. Stand naturally and gently rest your hand on the side of the lectern.

2.    Movement

While speaking, do not hide your hands in your pocket and jingle your keys or lose change. Keep your hands at your side on the other hand do not stand frozen in one place for or entire speech. If you are nervous take two or three steps to the right,left, front, or back while speaking.

3.    Eyecontact

Dale and Wolf (2000:21) suggest that eyecontact various from culture to culture in some eastern culture  women are expected to lower their eyes in communication situation. In other culture, it is a sign of respect to lower one is eyes when speaking to older people. In japan audiences look down in order to show respect for a speaker. The speaker may acknowledge the audience’s humanity by looking down as well.

Dale and Wolf (2000:21) claim that in the USA making eyecontact with your audience is absoolutely necessary for becoming and effective communicator. Good eyecontect is taken to mean that you are open an honest.

4.    Facial Expretion

Dale and Wolf (2000:22) according to them is very greatly in different cultures. In  of speaker who smiles may convey confusion or embarrassment to his or her listeners and American speaker may purpose laugh to express irony or humor. Speaker in united sats use variety of facial expression to help maintain the listeners interest in their message and to appear relax and in control.

5.    Appearance

if you listeners have on suit and dresses it is important for you  to dress well as the audiences will be looking up to you. Wear your best suit or dress and do not wear jewelry that might glitter or jingle when you move or gesture. This might divert attention of your audience from your speech. Remember to dress well and comfortable because the audience is going to make first impression of you, Avoid colors that are bright.

TUJUAN HUKUM KEPAILITAN

2 comments
TUJUAN HUKUM KEPAILITAN

Menurut Levintal (dalam Sutam Reimy Syahdeni,2009:28) tujuan hukum Kepailitan (backruptcy law), adalah :

1. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya;

2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor;

3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.

Dalam penjelasan UU Kepailitan dan PKPU dikemukakan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai berikut:

1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalma waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.

2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

3.  Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberikan keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditoe tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan,atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.

Sumber buku : Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis, hlmn : 130

DASAR HUKUM DAN PENGERTIAN KEPAILITAN

No comments
 DASAR HUKUM DAN PENGERTIAN KEPAILITAN

Dasar hukum berlakunya Hukum Kepailitan di Indonesia terdapat di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang biasanya disebut UU Kepailitan dan PKPU.

Dalam UU Kepailitan dan PKPU yang dimaksud Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Salah satu pihak yang sangat terkait dalam Kepailitan adalah Kreditor, yaitu orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau UU yang dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau UU yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

Yang dimaksud Kurator dalam definisi tersebut diatas adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleha Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Adapun dalam UU Kepailitan dan PKPU, yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau uu dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

Sumber :

Buku : Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis.. hlmn : 129-130

Wednesday 14 December 2016

Peraturan perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup Jaman Kolonial dan Jaman Jepang

No comments
Peraturan perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup Jaman Kolonial dan Jaman Jepang


 Peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup yang pertama kali diatur adalah mengenai Perikanan Mutiara dan Perikananan Bunga Karang (Stbl 1916 No 157). Menyusul kemudian dengan mendasarkan pada ketentuan Hinder Ordonantie (HO) sebagai hukum warisan kolonial/penjajahan Belanda yang diadopsi berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 dimana ketentuan Hinder Ordonantie (HO) yang berorientasi pada larangan dengan tanpa ijin membuat kegiatan yang menimbulkan bahaya , kerusakan dan gangguan terhadap lingkungan yang diakibatkan adanya kegiatan dimana para pemrakarsa kegiatan diharuskan mendapatkan ijin kegiatan utamanya adanya persetujuan tetangga untuk melaksanakan kegiatan. Konsekuensinya adalah bahwa pemrakarsa tidak dapat melaksanakan kegiatannya, kalau dalam kegiatannya menimbulkan bahaya/gangguan dan pencemaran lingkungan, akan tetapi dalam kenyataannya masalah perijinan Hinder Ordonantie (HO) ini hanya dipakai sebagai prosedur saja oleh Pemeritah Daerah Kabupaten/Kota, karena ia tidak mempunyai struktur untuk menangani masalah lingkungan hidup sebagaimana diinginkan oleh politik hukum global yang berkembang saat ini. Prosedur Hinder Ordonantie (HO) ini tidak menyangkut mengenai masalah persetujuan lingkungan, ia hanya mengutamakan persetujuan tetangga. Proses lainnya yang bersinggungan dengan lingkungan masih tidak diatasi.

Pada jaman Jepang, hampir tidak ada peraturan perundangan-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S. Kanrei No. 6 yaitu mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Hal lain yang menarik perhatian mengenai kelestarian lingkungan di dalam Al Qur’an disebutkan beberapa surat yang menyatakan tentang upaya pelestarian lingkungan hidup. Di antaranya yaitu Surat Al Araaf ayat 56 “...dan janganlah kamu merusak di muka bumi sesudah Tuhan membangunnya...”
Hal ini merupakan kekuatan moral kepada pemeluknya agar senantiasa memelihara dan melestarikan lingkungan hidup. Ini bukan untuk mencampurkan antara ajaran agama dengan kekuatan hukum yang berlaku akan tetapi paling tidak dalam rangka pembentukan hukum lingkungan hidup yang baru, akan memberi dukungan moral yang sangat kuat dimana kita ketahui bahwa sebagaian besar penduduk bangsa Indonesia beragama Islam. Pembaharuan ke hukum nasional Tonggak sejarah politik hukum dari jaman kolonial ke jaman nasional dimulai tanggal 17 Agustus 1945 dengan adanya pernyataan Proklamasi oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Semua aturan yang dibuat dalam rangka untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan masyarakat harus bersumber kepada sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila dan sumber tertib hukum yang tertinggi Undang- Undang Dasar 1945. Kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah menyangkut pertanyaan “apa yang ingin dicapai, bagaimana dan jalan apa, dengan cara apa pengelolaan lingkungan dilaksanakan.8 Awal munculnya langkah dalam rangka penanganan masalah lingkungan hidup secara serius yang diilhami oleh Deklarasi tentang Lingkungan Hidup (Stockholm Declaration), hasil sidang/ konferensi PBB di Stockholm tanggal 5 s/d 16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara peserta dan puluhan peninjau.

Hasil konferensi berupa :
a. deklarasi tentang lingkungan hidup manusia yang terdiri dari Preamble dan 26 azas yang lazim disebut dengan Stockholm Declaration.
b. action plan lingkungan hidup.
c. rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan Action Plan tersebut.
d. menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1972, tentang Pembentukan Panitia Interdepartemental yang disebut : Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Panitia ini berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan hidup, kemudian dituangkan dalam Ketetapan MPR No. IV Tahun 1973, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ( GBHN 1973 - 1978 ) dalam BAB III, bagian B ayat 10, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1974 tentang REPELITA II, bab 4 tentang pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Panitia Perumus terus bekerja dan berupaya agar bisa mengembangkan diri serta mampu membuat konsep yang jelas dalam rangka penanganan masalah lingkungan. Adanya dorongan kuat pembenahan masalah lingkungan secara konsepsional di Indonesia adalah adanya kasus pencemaran lingkungan yang terjadi pada saat itu dan bisa dijadikan sandaran bagi panitia perumus untuk membuat konsep secara aktual. Yaitu adanya kasus pencemaran lingkungan laut akibat kecelakaan kapal tanker raksasa “ Show Maru “ di perairan Karang “Buffalo Rocks” yang terletak kurang lebih 3 km dari pelabuhan Singapura yang menyebabkan masalah yang besar bagi pemerintah Singapura dan Indonesia dalam hal penyelesaian melalui hukum dan tuntutan ganti rugi. Hal ini di karenakan Indonesia belum mempunyai undang-undang penanggulangan kerusakan lingkungan hidup dan belum diratifikasikannya konvensi-konvensi International mengenai hal tersebut.

Dalam rangka pembinaan aparatur pengelolaan lingkungan hidup maka pada tahun 1978 telah diangkat untuk pertama kali dalam kabinet, yaitu dalam Kabinet Pembangunan III (1978-1983), seorang Menteri yang mengkoordinasikan aparatur pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yaitu Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), sebagai menteri pertama yang menangani masalah lingkungan hidup adalah Prof. Dr. Emil Salim, yang menjabat sampai 3 kali periode. Baru pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) telah diangkat Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VII (1998 - 1998) telah diangkat Yuwono Sudarsono Sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan ( 1998 – 1999 ) telah diangkat dr. Panangian Siregar sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Persatuan ( 1999 – 2001) sebagai Menteri Alexander Sony Keraf. Dalam Kabinet Gotong Royong (2001 – 2004 ) sebagai MenteriNabiel Makarim. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu I sebagai Menteri Lingkungan Hidup Rachmad Witular dan pada Kabinet Indonesia Bersatu II diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta. Sehingga dapat dihitung menteri lingkungan hidup mulai pertama sampai sekarang telah dijabat oleh 8 orang yang menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup.

Dengan tugas terutama mempersiapkan perumusan kebijakan Pemerintah mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan tugas pelaksanaan pengawasan pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mengkoordinasi dan menangani segala kegiatan pengelolaan, pengembangan dan perlindungan lingkungan hidup. Pada 1978 Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup mulai berinisiatif untuk membuat rangcangan undang-undang tentang pengelolaan lingkungan hidup. Dibentuklah Tim Kerja yang khusus mempersiapkan konsep peraturan perundang lingkungan hidup. Atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat maka pada tanggal 11 Maret 1982, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 (UULH Th. 1982) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Dengan demikian terbukalah lembaran baru bagi kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia menuju pembangunan hukum lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip hukum lingkungan modern yang diakui secara international.

Situasi politik hukum yang tengah berlangsung secara global sangat mempengaruhi terbentuknya UULH Nomor 4 Tahun 1982, karena saat itu Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya menawarkan investasi penanaman modal bagi investor asing, sementara konsep lingkungan dalam konsep lingkungan global sedang dibahas. Oleh karena itu Indonesia menawarkan konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan yaitu kesejajaran antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Pembangunan boleh dapat terus berlangsung dengan segala dinamika dan masalahnya, akan tetapi pembanguan tersebut tidak boleh menyebabkan rusaknya daya dukung lingkungan demi generasi masa depan. Kita tidak perlu mempertentangkan antara lingkungan dan pembangunan. Dalam TAP MPR : NO II/MPR/1993 tentan GBHN yan antara lain menentukan pemanfaatan sumber daya alam bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, telah diupayakan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan keseimbangan dan keserasian fungsi lingkungan hidup serta senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip pembanguna yang berkelanjutan demi untuk kepentingan generasi yang akan datang. Inimerupakan komitmen politik dari pihak penguasa tentang bagaimana kita menyikapi permasalahan lingkungan. Hal ini menimbulkan implikasi bahwa semua kegiatan pembangunan harus memberikan jaminan bahwa pembangunan tersebut tidak akan merusak lingkungan dan dengan demikian pembanguan yang dilaksanakan harus berwawasan lingkungan.
 Dalam kedudukannya, UULH Nomor 4 Tahun 1982 memberikan uraian mengenai kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia dalam hubungannya dengan tujuan dari pada pengelolaan lingkungan hidup yang tercermin di dalam Pasal 4, yang menyatakan “ Pengelolaan lingkungan hidup bertujuan : 
a. tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya;
b. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
c. terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
d. terlaksnanya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang;
e. terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan diluar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Di samping itu UULH ini juga juga bisa dipergunakan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan yan memuat segi-segi lingkungan hidup yang sudah berlaku, dengan demikian diharapkan bahwa semua peraturan tersebut dapat dalam satu sistem hukum lingkngan di Indonesia. Secara konsep pikiran dasar dari UULH Nomor 4 Tahun 1982 itu dapat diuraikan sebagai berikut :
a. bahwa lingkungan hidup sebagai konsep kewilayahan.

b. wawasan tentang hubungan manusia dengan lingkungan hidup. 
Kedua hal ini menimbulkan implikasi dan konsekuensi yang dijabarkan dalam azas-azas yang dianut yaitu :
a. Hak atas \ lingkungan hidup yang baik dan sehat.
b. Pelestarian kemampuan lingkungan hidup.
c. Penguasaan sumber daya alam oleh negara.
d. Keterpaduan dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup.
Terlepas dari berbagai masalah yang timbul dan dialaminya, UULH Nomor 4 Tahun 1982 yang telah menandai awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup, dalam kurun waktu sejak diundangkanya telah terjadi peningkatan kesadaran lingkungan hidup di masyarakat, tumbuhnya peran serta masyarakat, makin banyaknya ragam organisasilingkungan dan peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian sehingga masyarakat tidak hanya sekedar berperan tetapi juga mampu berperan secara nyata. 
Sementara itu permasalahan hukum yang berkembang memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan sehingga pemerintah memandang perlu untuk memperbaharui dan menyempurnakan UULH Nomor 4 Tahun 1982. Dengan dasar pemikiran tersebut Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah mengganti Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini bertujuan antara lain melindungi wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, makhluk hidup dan kelestarian ekosistem serta menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini generasi masa depan dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam dengan mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan mengantisipasi isu lingkungan global. Pertumbuhan masyarakat telah pula membawa tantangan dalam upaya peningkatan kesejahteraan lahiriyah dan batiniah beserta matra pemerataannya berkeadilan sosial.11 Pembangunan dalam dirinya mengandung perubahan besar yang meliputi struktur ekonomi, fisik wilayah, perubahan sumber daya alam dan lingkungan hidup, perubahan tehnologi, dan perubahan system nilai.


Sumber : Catatat Materi Kuliah (Rangkuman)

Friday 2 December 2016

DASAR HUKUM PEMBIYAAN MULTIJASA

No comments


2. Dasar Hukum Pembiayaan Multijasa

Dasar hukum pembiayaan multijasa terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Hadist, kaidah fiqh, dan pendapat para ulama:

a. Firman Allah SWT antara lain:

1. QS. Al-Ma’idah (5) ayat 2:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

2. QS. Al-Ma’idah (5) ayat 1:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.......”

3. QS. Al-Israa’ (17) ayat 34:

“………Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”


b. Hadist-hadist Nabi s.a.w antara lain:

1. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani:

“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

2. Hadist riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:



“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”

3. Sabda Rasulullah SAW:


“Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.”

c. Kaidah fiqh, antara lain:

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”



“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”


d. Pendapat para ulama, antara lain:

1. Kitab Mughni al-Muhtajj, jilid II: 201-202:

(Hal yang dijamin) yaitu utang disyaratkan harus berupa hak yang bersifat fix pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin utang yang belum menjadi kewajiban… (Qaul qadim Imam al-Syafi’i menyatakan sah penjaminan terhadap utang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat kebutuhan orang terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut.”


2. Kitab al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:


“Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat.”


e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia


1) Bahwa salah satu bentuk pelayanan jasa keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pembiayaan multijasa, yaitu pembiayaan yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa;



2) Bahwa LKS perlu merespon kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan jasa tersebut;


3) Bahwa agar pelaksanaan transaksi tersebut sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang pembiayaan multijasa untuk dijadikan pedoman.


 f. Landasan Yuridis


Landasan hukum perbankan yang mengatur tentang kegiatan bank yang memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran:


1) Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 10 tahun 1998


2) Undang-undang Republik Indonesia No. 23 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 3 tahun 2004.

KODIFIKASI PRODUK PERBANKAN SYARIAH TENTANG PEMBIYAAN MULTIJASA

No comments




A. Pengertian Pembiayaan Multijasa

Pengertian pembiayaan multijasa dapat dipahami dengan menelusuri Kodifikasi Produk Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia.


1. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah

Menurut kodifikasi produk perbankan syariah pembiayaan multijasa adalah sebagai berikut:

a) Definisi

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

1. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

2. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewabeli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

3. Transaksi jual-beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

4. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

5. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa; Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Pembiayaan Multijasa adalah
kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan akad ijarah. Dalam jasa keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan kepariwisataan. Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan ijarah untuk transaksi multijasa berlaku persyaratan kurang lebih sebagai berikut :

a. Bank dapat menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan kepariwisataan;

b. Dalam pembiayaan kepada nasabah yang menggunakan akad ijarah untuk transaksi multijasa, Bank dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee;dan

c. Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase;

b) Akad

1. Ijarah


Transaksi sewa menyewa atas suatu barang atau jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan.

2. Kafalah

Transaksi penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga atau yang tertanggung (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (makful ‘anhu/ashil).

c) Fitur dan Mekanisme Pembiayaan Multijasa

1. Pembiayaan multijasa atas dasar akad ijarah

a. Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi ijarah dengan nasabah;

b. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah;

c. Pengembalian atas penyediaan dana Bank dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus; dan

d. Pengembalian atas penyediaan dana Bank tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang.

2. Pembiayaan multijasa atas dasar akad kafalah

a. Bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga;

b. Obyek penjaminan harus:

1) Merupakan kewajiban pihak/orang yang meminta jaminan;

2) Jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya; dan

3) Tidak bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan).

c. Bank dapat memperoleh imbalan atau fee yang disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal yang tetap;

d. Bank dapat meminta jaminan berupa cash collateral atau bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan; dan

e. Dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga, maka bank melakukan pemenuhan kewajiban nasabah kepada pihak ketiga dengan memberikan dana talangan sebagai Pembiayaan atas dasar akad qardh yang harus diselesaikan oleh nasabah.

d) Tujuan dan Manfaat

1. Bagi Bank

a. Sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka memberikan pelayanan jasa bagi nasabah.

b. Memperoleh pendapatan dalam bentuk imbalan/fee/ujrah.

2. Bagi Nasabah
a. Sebagai salah satu solusi kebutuhan pelayanan jasa.

b. Memperoleh pemenuhan jasa-jasa tertentu seperti pendidikan, kesehatan dan jasa lainnya yang dibenarkan secara syariah.

e) Analisis Dan Identifikasi Risiko

1. Resiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.

2. Resiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika pembiayaan multijasa untuk transaksi komersial adalah dalam valuta asing.



MATERI KULIAH TENTANG PENGATURAN SURAT BERHARGA

No comments



A. Pengaturan Surat Berharga

Sebelum kita sampai pada pengaturan mengenai surat berharga, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui pengertian dari surat berharga, mengenai pengertian atau definisi surat berharga sebenarnya tidak terdapat dalam KUHD maupun perundang-undangan lainnya, namun kita dapat mengetahui pengertian surat berharga berdasarkan pendapat para pakar hukum. Dalam buku Hukum Dagang tentang Surat-Surat Berharga, surat berharga adalah surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pembayaran surat berharga ini tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang melainkan menggunakan alat bayar lain. Alat bayar itu suatu surat yang didalamnya mengandung perintah kepada pihak ketiga atau pernyataan sanggup, untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang surat tersebut (Abdulkadir Muhammad, 2003:5).

Surat berharga terpakai untuk surat-surat yang bersifat seperti uang tunai, jadi yang dapat dipakai untuk melakukan pembayaran. Ini berarti pula bahwa surat-surat itu dapat diperdagangkan, agar sewaktu-waktu dapat ditukarkan dengan uang tunai (Wirjono Projodikoro, 1992:34).

Suatu surat dapat dikatakan surat berharga adalah dengan cara mengidentifikasi terhadap suatu surat dengan melihat pada fungsi yang dimiliki surat berharga. surat berharga itu memiliki fungsi sebagai alat bayar, sebagai alat bukti hak tagih bagi pemegangnya (surat legitimasi) dan dapat diperjualbelikan dengan mudah dan sederhana (Kingkin Wahyuningdiah, 2007:4). Surat berharga adalah surat bukti tuntutan hutang, pembawa hak dan mudah diperjualbelikan (Purwosutjipto, 1990:5).

Berdasarkan definisi di atas, maka surat berharga mengandung beberapa unsur.

1. Surat bukti tuntutan hutang ialah perikatan yang harus ditunaikan oleh penandatangan akta, sebaliknya penerima akta itu mempunyai hak untuk menuntut kepada orang yang menandatangani akta tersebut.

2. Pembawa hak ialah pemegang hak untuk menuntut sesuatu kepada debitur yang berarti bahwa hak tersebut melekat pada akta surat berharga, seolah-olah menjadi satu atau senyawa.

3. Mudah diperjualbelikan yakni agar surat berharga itu mudah dijualbelikan, maka harus diberi bentuk kepada pengganti atau bentuk kepada pembawa (Purwosutjipto, 1990:5). Berdasarkan pendapat para pakar hukum di atas dapat diketahui yang dimaksud dengan surat berharga adalah surat yang sengaja diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi, yang bersifat seperti uang tunai dan memiliki fungsi sebagai alat bayar, sebagai alat bukti hak tagih bagi pemegangnya (surat legitimasi) dan dapat diperjualbelikan dengan mudah dan sederhana.

Dalam hal pengaturannya, surat berharga terbagi menjadi 2 yaitu surat berharga yang diatur di dalam KUHD dan surat berharga yang diatur di luar KUHD.

1. Surat Berharga di Dalam KUHD

Surat berharga yang diatur di dalam KUHD yaitu cek, wesel, surat sanggup, promese atas tunjuk dan kuitansi atas tunjuk.

Berikut macam-macam surat berharga beserta pengaturannya dalam KUHD.

a. Wesel adalah surat yang memuat kata wesel, yang diterbitkan pada tanggal dan tempat tertentu, dengan mana penerbit memerintahkan tanpa syarat kepada tersangkut untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau penggantinya, pada tanggal dan tempat tertentu (Abdulkadir Muhammad, 2003:4). Wesel diatur dalam Buku I Titel ke enam bagian pertama sampai dengan bagian kedua belas KUHD;

b. Surat sanggup adalah surat tanda sanggup atau setuju membayar kepada pemegang atau penggantinya pada hari bayar. Surat sanggup diatur dalam Buku I Titel ke enam bagian tiga belas KUHD;

c. Cek adalah surat yang memuat kata cek, diterbitkan pada tanggal dan tempat tertentu, dengan mana penerbit memerintahkan tanpa syarat pada bankir untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pemegang atau pembawa ditempat tertentu. Cek diatur dalam Buku I Titel ke tujuh dalam bagian ke sepuluh KUHD;

d. Kuitansi-kuitansi atas tunjuk adalah surat yang diterbitkan oleh penanda tangan pada tanggal dan tempat tertentu kepada pemegang pada saat diperlihatkan, perintah mana ditujukan kepada orang yang ditunjuk didalamnya (Abdulkadir Muhammad, 2003:244). Kuitansikuitansi atas tunjuk diatur dalam Buku I Titel ke tujuh dalam bagian ke sebelah KUHD. Jadi, pengaturan surat berharga itu semua terdapat di dalam Buku I Titel 6 dan 7 KUHD.

2. Surat Berharga di Luar KUHD

Dalam memenuhi kebutuhan praktek sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga diperlukan ketentuan-ketentuan mengenai surat berharga yang belum di atur dalam KUHD, namun tidak berarti bahwa ketentuan dalam pasal-pasal mengenai surat berharga dalam KUHD tidak dapat diberlakukan. Surat berharga yang timbul di luar KUHD tersebut tetap tunduk kepada ketentuanketentuan umum dalam KUHD yang berlaku bagi surat-surat berharga, sepanjang tidak diatur tersendiri sesuai dengan fungsi dan tujuan penerbitan surat berharga itu. Berdasarkan asas Lex Spesialis Derogat Legi Generali, yaitu ketentuan khusus dimenangkan dari ketentuan umum, maka mengenai surat berharga di luar KUHD berlaku ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan umum dalam KUHD dan KUH Perdata, dan sebaliknya apabila suatu hal tidak diatur secara khusus, maka berlaku ketentuan umum. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan surat berharga dalam KUHD dan ketentuan umum mengenai syarat syahnya perjanjian dalam KUH Perdata tetap dapat diberlakukan sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan surat berharga di luar KUHD.
 
Di luar KUHD pengaturan Surat Berharga tertuang dalam sejumlah ketentuan sebagaimana di bawah ini.

a. Bilyet Giro: diatur dalam dalam Surat Keputusan direksi Bank Indonesia No.28/32/Kep/Dir tahun 1995 tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet Giro, mulai berlaku 1 November 1995; menggantikan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No. 4/670/UPPB/PbB tanggal 1 Januari 1972 tentang Bilyet Giro.

b. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri: diatur dalam Surat keputusan Direksi Bank Indonesia No.29/150/Kep/Dir/1996, tanggal 31 Desember 1996 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri, berlaku tanggal 31 Desember 1996.

c. Surat Berharga Komersial (Commercial Paper), diatur dalam:

1). Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.28/52/Kep/Dir, tanggal 11 Agustus 1995, berlaku 2 Februari 1996 tentang Surat Berharga Komersial (Commercial Paper) melalui Bank Umum Indonesia.

2). Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No. 28/49/UPG, tanggal 11 Agustus 1995.

MATERI KULIAH SURAT-SURAT BERHARGA TENTANG BILYET GIRO

No comments



Bilyet Giro

1. Dasar Hukum Bilyet Giro

Bilyet giro merupakan salah satu surat berharga yang tidak diatur dalam KUHD, melainkan tumbuh dan dipergunakan dalam praktik perbankan. Maka dari itu Bank Indonesia sebagai bank sentral mengatur penggunaan bilyet giro. Ketentuan mengenai bilyet giro diatur Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang Bilyet Giro selanjutnya disingkat SKBI No. 28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang Bilyet Giro dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 28/32/UPG Tahun 1995 tentang Bilyet Giro, selanjutnya disingkat SEBI No. 28/32/UPG Tahun 1995 tentang Bilyet Giro. Surat keputusan tersebut merupakan penyempurnaan dari peraturan tentang bilyet giro yang telah ada sebelumnya dan diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 4/670/UPBB/PbB tanggal 24 Januari 1972 tentang Bilyet Giro.

Istilah bilyet giro berasal dari bahasa Belanda, bilyet artinya surat dan giro artinya simpanan nasabah pada bank yang pengambilannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cekatau pemindahbukuan. Pengambilan dengan pemindahbukuan itu menggunakan bilyet giro.
 
Menurut pasal 1 butir (d) SKBI No.28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang Bilyet Giro, menjelaskan mengenai pengertian bilyet giro, bilyet giro adalah tidak lain dari pada surat perintah nasabah yang telah distandarkan bentuknya kepada bank penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutka namanya pada bank yang sama atau pada bank lainnya.

Bilyet giro adalah suatu surat perintah pemindahbukuan tanpa syarat yang dikeluarkan oleh penerbit (nasabah yang mempunyai rekening giro) yang ditujukan kepada tersangkut (bank di mana penerbit mempunyai rekening giro) dengan permintaan agar sejumlah disediakan untuk kepentingan pemegang yang namanya tercantum dalam bilyet giro itu (Imam Prayogo,1995: 278)

Dengan memahami pengertian tersebut, kita akan dapat mengetahui adanya beberapa unsur yang
penting, yaitu:

a. bilyet giro merupakan surat perintah pemindahbukuan tanpa syarat dari penerbit bilyet giro;

b. penerbit bilyet giro haruslah nasabah bank yang mempunyai rekening giro;

c. tertarik dalam bilyet giro adalah bank yang memelihara rekening giro penerbit;

d. penerima bilyet giro harus nasabah bank, baik bank yang sama maupun bank yang lain;

e. bilyet giro tidak dapat dilakukan dengan pembayaran tunai.

2. Syarat-syarat Formal Bilyet Giro

Sama halnya dengan surat-surat berharga lainnya, maka bilyet giro juga memiliki syarat-syarat formal. Adapun syarat-syarat formal dari bilyet giro menurut SKBI No.28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang Bilyet Giro Pasal 2 adalah sebagai berikut.

a. Nama ”Bilyet Giro” dan nomor bilyet giro yang bersangkutan, haruslah tercantum pada formulir bilyet giro

Klausa bilyet giro cukup dicantumkan pada formulir Bilyet Giro, tidak perlu dicantumkan dalam teksnya. Berbeda dengan surat wesel atau cek, klausula wesel dan cek harus dicantumkan dalam teks tidak cukup hanya dituliskan formulirnya saja. Dalam teks bilyet giro terdapat klausula pemindahan dana, yang menunjukan bahwa pembayaran bilyet giro itu hanya boleh dilakukan dengan pemindahbukuan. Demikian juga mengenai nomor seri, sama seperti cek bahwa setia lembar harus diberi nomor seri guna memudahkan kontrol bagi bank apakah blanko formulir bilyet giro yang diserahkan kepada pemilik dana (rekening giro) sudah diterbitkan sebagaimana mestinya dan sudah diterima. Jika blanko formulir itu sudah habis, pemilik dana (rekening giro) dapat mengajukan permintaan blanko formulir yang baru.

b. Nama Tertarik

Nama bank tertarik harus dimuat dalam bilyet giro, hal ini memungkinkan bahwa penerbit adalah nasabah dari bank tersebut, pada bank mana dana sudah tersedia paling lambat pada saat amanat itu berlaku. Demikian juga tempat bank tersangkut harus disebutkan juga, karena mungkin bank tersangkut itu mempunyai beberapa kantor cabang mana penerbit mempunyai rekening giro.

c. Perintah tanpa syarat pemindahbukuan

Perintah yang jelas dan tanpa syarat untuk memindahbukukan dana atas beban rekening penerbit. Dana harus telah tersedia pada saat berlakunya amanat yang terkandung dalam bilyet giro tersebut. Perintah pemindahbukuan pada bilyet giro harus tanpa syarat, artinya pemindahbukuan itu tidak boleh diembel-embeli dengan syarat, jika dicantumkan suatu syarat, maka syarat itu dianggap tidak tertulis atau tidak ada.

Pada rekening giro penerbit yang memerintahkan pemindahbukuan itu harus sudah tersedia saldo dana yang cukup, artinya jumlah saldo dana itu sekurang-kurangnya haruslah sama dengan yang tertulis pada bilyet giro. Saldo dana yang cukup harus sudah ada selambat-lambatnya pada saat berlakunya amanat yang terkandung didalam bilyet giro tersebut. Jika saldo dana yang tersedia itu tidak cukup, atau tidak tersedia pada saat berlakunya amanat, bilyet giro itu disebut bilyet giro kosong

d. Nama dan nomor rekening penerima

Penerima adalah nasabah yang memperoleh pemindahbukuan dana sebagaimana diperintahkan oleh penerbit kepada tertarik. Agar dana itu dapat dipindahbukukan, maka nama, nomor rekening penerima bilyet giro harus tertulis pada bilyet giro tersebut. Dengan demikian, dapat diketahui apakah penerima bilyet giro itu adalah nasabah bank tertarik atau nasabah bank lain. Penerima bilyet giro yang berhak atas pemindahbukuan tidak dapat memindahkan bilyet gironya kepada pihak lain.

e. Nama bank penerima

Yakni bank di mana orang atau pihak yang harus menerima dana pemindahbukuan tersebut memelihara rekening sepanjang nama bank penerima diketahui oleh penerbit. Penerima bilyet giro itu mungkin menjadi nasabah bank di mana penerbit juga mempunyai rekening giro atau nasabah bank tersebut. Dalam hal ini pemindahbukuan hanya terjadi dalam lingkungan bank yang sama, tetapi mungkin juga terjadi penerima bilyet giro itu nasabah dari bank yang lain. Apabila penerbit mengetahui bank pemelihara rekening giro si penerima bilyet giro, penerbit mencantumkan nama bank tersebut, maka bank tersangkut dapat memindahbukukan dana ke dalam rekening penerima pada banknya. Dengan demikian terjadi pemindahbukuan antar bank.

f. Jumlah dana yang dipindahbukukan

Jumlah dana yang dipindahbukukan ditulis baik dalam angka maupun dalam huruf selengkaplengkapnya. Dalam hukum wesel dan cek ada ketentuan, jika terdapat selisih antara yang ditulis dalam angka dan yang ditulis dalam huruf, yang dipakai adalah yang tertulis dalam huruf. Demikian juga pada bilyet giro ketentuan pasal 8 ayat (1) SKBI menentukan dalam hal perbedaan jumlah uang yang tertulis dalam angka dan huruf, maka yang berlaku adalah yang tertulis dalam huruf. Alasannya ialah kemungkinan perubahan tulisan dalam huruf lebih sulit dibandingkan dengan perubahan angka.

g. Tempat dan tanggal penerbitan

Tempat ini penting untuk mengetahui dimana perbuatan itu dilakukan. Tempat penerbitan biasanya juga tempat dilakukan pembayaran, yaitu penyerahan bilyet giro kepada pemegang. Jika pada wesel dan cek tempat penerbitan tidak disebutkan, maka tempat yang disebutkan disamping nama penarik dianggap tempat penandatanganan wesel atau cek. Ketentuan seperti ini dapat juga diikuti oleh bilyet giro.

Penyebutan tanggal penerbitan juga penting sehubungan dengan tanggal efektif. Jika tanggal efektif tidak disebutkan, maka tanggal efektif adalah tanggal penerbitan. Selain itu, tanggal penerbitan perlu menentukan apakah penerbit ketika menandatangani bilyet giro berwenang melakukan perbuatan hukum atau tidak

3. Hubungan Hukum dalam Bilyet Giro

Pada surat bilyet giro dalam bentuk yang sederhana, kita akan mengenal beberapa pihak dalam bilyet giro yakni pihak-pihak yang terlibat dalam lalu lintas pembayaran bilyet giro. Menurut SKBI No.28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang bilyet Giro Pasal 1, pihak dalam bilyet giro adalah sebagai berikut:

1) penerbit, yaitu nasabah yang memerintahkan pemindahbukuan sejumlah dana atas beban rekeningnya atau penerbit adalah pihak yang menerbitkan atau mengeluarkan bilyet giro;

2) penerima, yaitu nasabah yang memperoleh pemindahbukuan dana sebagaimana diperintahkan oleh penarik kepada tertarik;

3) tertarik, yaitu bank yang menerima perintah pemindahbukuan;

4) bank penerima, yaitu bank yang menatausahakan rekening penerima.

Dalam penerbitan dan peredaran bilyet giro sebagai alat pembayaran timbul beberapa hubungan hukum para pihak dalam bilyet giro.

Pada dasarnya hubungan hukum terjadi karena adanya suatu perikatan. Perikatan adalah hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual-beli dan hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, dan kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun. Peristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum.

Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dan serta akibat hukum dan pada setiap hubungan itu terdapat hak dan kewajiban (Abdulkadir Muhammad, 2000:199). Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Hak adalah kewenangan yang ada pada seseorang untuk berbuat atas sesuatu yang menjadi obyek dari haknya itu terhadap orang lain. Kewajiban adalah keharusan untuk mengerjakan sesuatu berdasarkan hukum. Dalam hubungan hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur, sedangkan pihak yang memberi hutang disebut kreditur, dalam hubungan jual beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur, dalam perjanjian kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban membayar upah disebut debitur.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa hubungan hukum itu adalah perikatan. Hubungan hukum itu timbul karena adanya perisiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dalam penggunaan bilyet giro hubungan hukum terjadi antara penerbit dengan penerima, bank tertarik dengan penerbit, bank penerima dengan penerima, bank dengan bank sebagaimana uraian berikut.

a. Hubungan hukum antara penerbit dengan penerima

Hubungan hukum antara penerbit dan penerima terjadi dikarenakan adanya suatu perikatan dasar yang mana perikatan itu timbul dikarenakan adanya perjanjian. Perjanjian yang terjadi disini biasanya berupa perjanjian jual beli yang mana pihak penerbit berkewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak penerima. Latar belakang diterbitkannya surat berharga sebagai pemenuhan isi perjanjian yang dilakukan oleh penerbit yang kemudian pihak penerbit menyerahkan surat berharga kepada pihak penerima untuk dilakukannya proses pembayaran dalam hal ini dengan cara pemindahbukuan atau dengan kata lain dengan menggunakan bilyet giro.

b. Hubungan hukum antara bank tertarik dengan penerbit bilyet giro

Menurut Mollengraff, hubungan hukum antara penerbit dan bank dipandang sebagai pemberi kuasa (last geving) dan perjanjian melakukan beberapa pekerjaan (Imam Prayogo, 1995:131). Menurut Pasal 1702 KUHPdt, tentang pemberian kuasa berbunyi sebagai berikut: ”suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa/last hebber), yang menerimanya untuk atas namanya sendiri atau tidak, menyelenggarakan suatu perbuatan hukum atau lebih untuk pemberi kuasa itu”.

Berdasarkan konsep di atas, dapat kita lihat hubungan hukum antara bank tertarik dan penerbit bilyet giro terjadi karena adanya perjanjian pembukaan rekening giro sebagai perjanjian penyimpanan dana dan karena diterbitkannya bilyet giro sebagai perintah pemindahbukuan dari penerbit kepada bank penyimpan giro, atas dasar itu maka bank tertarik sebagai penyimpan dan dan pihak yang diperintahkan untuk melakukan pemindahbukuan, berkewajiban untuk melakukan pemindahbukuan atas perintah yang terdapat dalam bilyet giro. Sedangkan penerbit bilyet giro mempunyai kewajiban untuk selalu menyediakan dana yang akan dipindahbukukan. Bank menerima kuasa dari penerbit untuk melakukan pemindahbukuan dana.

c. Hubungan hukum antara bank penerima dengan penerima bilyet giro


Hubungan hukum antara bank dengan penerima adalah hubungan hukum bank dengan nasabahnya karena pemegang mempunyai dana yang disimpan pada rekening giro pada bank yang disebutkan namanya dalam bilyet giro. Penerima bilyet giro mempunyai hak untuk memperoleh pemindahbukuan sejumlah dana yang tercantum dalam bilyet giro yang ditawarkan kepada bank. Dengan diterbitkannya bilyet giro tersebut, maka bank mempunyai dua kewajiban selain sebagai penyimpan dana, bank juga mempunyai kewajiban untuk mentransfer pemindahbukuan dana kedalam rekening milik penerima apabila terjadi transaksi.

d. Hubungan hukum antara bank dengan bank

Hubungan hukum ini terjadi apabila antara penerbit dengan penerima merupakan nasabah bank yang berbeda yang dalam penerbitan bilyet giro dapat dilakukan dengan kliring. Caranya adalah penerbit menyerahkan bilyet giro kepada penerima. Rekening penerbit ada pada suatu bank, sedangkan rekening giro penerima ada pada bank yang sama atau berbeda oleh penerima bilyet giro tersebut diserahkan pada banknya agar bank tersebut memperhitungkan bilyet giro tersebut kedalam rekeningnya. Sehingga pada saat memperhitungkan bilyet giro melalui lembaga kliring terjadilah hubungan hukum antar bank.

4. Proses Penggunaan Bilyet Giro

a. Latar Belakang Penggunaan Bilyet Giro


Latar belakang diterbitkannya bilyet giro sebagai pemenuhan isi perjanjian yang dilakukan oleh penerbit yang disebut dengan perikatan dasar. Penggunaan bilyet giro itu sebenarnya adalah pembayaran cara lain dari biasanya sebagai pemenuhan isi perjanjian, perjanjian antara pihakpihak itu adalah dasar penggunaan bilyet giro yang disebut perikatan dasar (Abdulkadir muhammad, 2003:287)

Perikatan dasar adalah perikatan yang harus ditunaikan oleh penanda tangan akta, sebaliknya penerima akta itu mempunyai hak menuntut kepada orang yang menandatangan akta tersebut. Perikatan disini dengan sendirinya harus dilaksanakan dengan baik dan tepat waktunya, sehingga tujuan dibuatnya perjanjian dapat dicapai. Perikatan dasar tersebut harus sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata.

Perikatan-perikatan dalam suatu perjanjian merupakan isi daripada perjanjian tersebut, maka tak mungkin dikatakan bahwa orang tersebut mengikatkan diri pada suatu perikatan, sehingga lebih tepat yang dimaksud dengan perikatan adalah mengikatkan diri pada suatu perjanjian yang melahirkan sekelompok perikatan-perikatan, yang membentuk perjanjian yang bersangkutan (J. Satrio, 1994:2).

Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:

1) adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian;

2) adanya kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian ;

3) adanya suatu hal tertentu ;

4) ada sebab yang halal.

Setiap perjanjian yang memenuhi syarat Pasal 1320 KUH Perdata adalah mengikat pihak-pihak, konsekuensinya menurut Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang di buat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup kuat menurut undangundang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian ini bermacam wujudnya, misalnya perjanjian jual-beli, pinjam meminjam uang, penyimpanan uang di bank dan lain sebagainya. Perjanjian disepakati pula bagi yang berkepentingan melaksanakan pembayaran, dapat membayar dengan cara lain yang tak seperti dengan cara pembayaran biasa yaitu dengan pembayaran sejumlah uang kontan. Cara yang lain daripada yang biasanya dalam suatu perjanjian itu yaitu dengan cara penerbitan surat berharga khususnya bilyet giro (Imam Prayogo, 1995:285).

Akibat dari penerbitan bilyet giro tersebut maka pemegangnya mempunyai hak tagih dan penerbit mempunyai kewajiban untuk menyediakan dana guna pembayaran bilyet giro tersebut. Bagi penerimanya memiliki bukti bahwa dia berhak atas tagihan uang yang tersebut di dalam bilyet giro. Apabila penerima datang pada pihak yang diperintahkan untuk membayar, maka penerima hanya menunjukkan dan menyerahkan surat itu tanpa formalitas lain ia akan memperoleh pembayaran. Bagi pihak yang ditunjuk untuk membayar oleh penerbit, ia berkewajiban untuk membayar tanpa syarat dan juga tidak perlu menyelidiki apakah penerima tersebut orang yang berhak atau tidak.

b. Proses Penerbitan Bilyet Giro

Penerbitan bilyet giro berdasarkan inisiatif penerbit dan untuk kepentingan penerima. Atas penerbitan memerintahkan pada bank agar melakukan pemindahbukuan rekening penerbit kedalam rekening penerima. Penerbitan bilyet giro ini berfungsi sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu kewajiban yang dilakukan pihak penerbit (Imam Prayogo, 1995:286). Hal ini berarti bahwa penerbit dan penerima masing-masing mempunyai rekening pada bank dimana mereka menjadi nasabah. Berdasarkan rekening giro inilah bank melaksanakan perintah yang dicantumkan dalam bilyet giro. Dengan demikian maka rekening giro milik penerbit dalam bilyet giro berkurang, sedangkan pada penerima rekening gironya akan bertambah sejumlah yang tertera dalam bilyet giro. Tetapi apabila rekening giro dari masing-masing pihak berada pada bank yang berlainan dan mungkin juga dapat yang berbeda, maka pelaksanaan pemindahbukuan dana harus dilakukan melalui kliring, artinya bank tertarik akan berhubungan dengan bank nasabah melalui lembaga kliring dalam acara kliring untuk memperhitungkan bilyet giro tersebut.

c. Pembayaran Bilyet Giro

Sebagai surat perintah pemindahbukuan, bilyet giro tidak dapat dilakukan pembayarannya dengan uang tunai melainkan dengan cara pemindabukuan. Di dalam bilyet dikenal istilah tenggang waktu penawaran, yaitu jangka waktu yang disediakan oleh penerbit kepada pemegang untuk meminta pelaksanaan pemindahbukuan dalam bilyet giro kepada tersangkut. Menurut ketentuan Pasal 6 Ayat (1) SKBI No.28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang Bilyet Giro, tenggang waktu penawaran bilyet giro adalah 70 hari terhitung sejak tanggal penerbitan. Artinya pemindahbukuan yang ada dalam bilyet giro tersebut tidak berlaku secara terus menerus. Dengan demikian, setiap saat bilyet giro ditawarkan kepada bank tertarik dalam tenggang waktu tersebut, bank tertarik dalam tenggang waktu tersebut akan memindahbukukan dana kerekening pemegang dan dengan pembayaran dilaksanakan sesuai dengan perikatan yang terjadi sebelumnya, kecuali dana itu tidak cukup atau tidak ada (kosong). Menurut pasal 6 Ayat (3) SKBI No.28/32/Kep/Dir Tahun 1995 tentang Bilyet Giro, bilyet giro yang diterima oleh bank setelah tanggal berakhirnya tenggang waktu penawaran dapat dilaksanakan perintahnya sepanjang dananya tersedia dan tidak dibatalkan oleh penarik (Kingkin Wahyuningdiah, 2007:177).

Pada bilyet giro memiliki dua tanggal dalam teksnya, yaitu:

1. Tenggang waktu dari tanggal waktu penerbitan sampai tanggal efektif, dan;

2. Tenggang waktu dari tanggal efekif sampai berakhirnya tenggang waktu 70 hari.

Dalam tenggang waktu yang pertama, penerbit diberi kesempatan untuk mempersiapkan dana guna membayar bilyet giro dengan pemindahbukuan. Dalam tenggang waktu ini bilyet giro baru beredar tetapi belum dapat ditawarkan kepada bank tertarik. Dalam tenggang waktu kedua setiap saat penerima bilyet giro dapat menawarkan kepada bank untuk pemindahbukuan, kecuali jika untuk bilyet giro itu tidak tersedia dana yang cukup atau kosong. (Abdulkadir Muhammad, 2003:233).

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa pembayaran pada bilyet giro dapat dilaksanakan pada saat penerbit telah menyediakan dana yang cukup dalam rekeningnya pada tersangkut sejak tanggal efektif sampai dengan tanggal mulainya daluwarsa.

RANGKUMAN MATERI KULIAH ISLAM DAN SYARIAH ISLAM

No comments

ISLAM DAN SYARIAH ISLAM

Makna Islam

Dari sisi bahasa, kata “Islam” berasal dari kata “aslama, yuslimu, islaman” yang artinya “tunduk dan patuh”. Jadi, seorang yang tunduk dan patuh kepada kepala negara, secara bahasa, bisa dikatakan “aslama li-rais ad-daulah”. Inilah makna generic atau makna bahasa dari kata Islam.

Akan tetapi, makna ”Islam” itu sendiri, secara terminologi tidak bisa dikatakan sekadar tunduk dan patuh saja. Dia sudah menjadi istilah khusus dalam khazanah kosa kata dasar Islam (basic vocabulary of Islam). Secara terminologi, makna Islam digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabda berikut :

“Islam adalah bahwasannya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan salat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibada haji ke Baitullah-jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).

Oleh karena itu, kata Islam, artinya adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,nabi terakhir. Agama Islam berbeda dengan agama-agama lain yang ada saat ini dan diyakini oleh umat Islam, sebagai kelanjutan dari agama para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, yang tidak lain adalah nabi terakhir. Inti dari ajaran paranabi adalah “tauhid”, yaitu tindakan mengesahkan Allah (Tauhidulllah) disertai sikap pasrah, tunduk dan patuh kepada Allah, sebagai syarat mutlak bagi seorang untuk disebut sebagai seorang muslim. Tanpa sikap itu, maka dia masih disebut kafir. Iblis misalnya, meskipun ia mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, tetapi karena dia membangkang, maka dalam Al-Qur’an, dia disebut sebagai “kafir”. (QS 2:34).

Secara terminologi, Islam adalah nama dan satu institusi agama, maka tidak bisa dikatakan bahwa setiap orang yang tunduk kepada Tuhan-apa pun agamanya, dan apa pun Tuhannya-dapat dikatakan sebagai muslim. Istilah “Muslim” atau pemeluk agama Islam, haruslah orang yang telah bersyahadat secaraIslam, yang mengakui bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad SAW adalah utusan Allah. Jadi, Muslim atau pemeluk agama Islam, wajib mengakui Muhammad sebagai utusan Allah SWT. Jika tidak, maka dalam istilah Islam, dia disebut sebagai “kafir”, yaitu orang yang ingkar kepada kebenaran Islam, karena menolak untuk mengakui Muhammad SAW sebagai nabi (utusan Allah).

Jadi, Islam adalah sebuah pedoman hidup dan berkehidupan yang dikeluarkan langsungoleh Allah SWT, sebagai pencipta, pemilik, pemelihara, dan penguasa tunggal alam semesta, agar manusia tunduk, patuh, dan pasrah kepada ketentuan-Nya untuk meraih derajat kehidupan lebih tinggi yaitu kedamaian, kesejahteraan,dan keselamatan baik di dunia maupu di akhirat.

Dasar-Dasar Ajaran Islam

Islam sebagai pedoman hidup dan berkehidupan, yang dikeluarkan langsung oleh pemegang otoritas tunggal, Allah SWT, mencakup 3 aspek, yaitu : Akidah, Syariah, dan Akhlak yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Aqidah

Kata akidah berasal dari bahasa Arab “aqad”, yang berarti ikatan. Menurut ahli bahasa, akidah adalah perjanjian yang teguh dan kuat terpatri dalam hati dan tertanam di dalam lubuk hati yang paling dalam. Jadi, akidah ini bagaikan ikatan perjanjian yang kokoh dan tertanam jauh di dalam lubuk hati sanubari manusia.

Perbedaan antara Islam yang dibawah Nabi Muhammad SAW dengan risalah Rasul sebelum beliau adalah bahwa risalah uang dibawa oleh para Rasul terdahulu bersifat lokal dan hanya untuk kaumnya saja, sedangkan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berlaku untuk semua manusia (rahmatan lil ‘alamiin). Islam bukanlah agama yang diturunkan untuk orang Arab saja. Akidah dan Syariah Islam sudah diatur oleh Allah untuk bisa diterapkan bagi semua manusia, bukan hanya untuk satu bangsa atau budaya tertentu saja. 

Substansi dari akidah adalah keimanan, sebagaimana terangkum dalam Rukun Iman, atau pokok-pokok keimanan Islam, yaitu iman kepada Allah, iman kepada para Malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada Nabi dan Rasul, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha dan qadar.

1. Iman kepada Allah SWT, adalah sebuah keimanan dan keyakinan akan adanya Allah SWT dan kekuasaan-Nya, yang disertai dengan kesiapan dan kerelaan untuk taat dan patuh kepada semua ketentuan Allah SWT, sebagaimana sabda Nabi : “Iman itu adalah mengenal (mengetahui) dengan hati, mengatakan dengan lisan, serta mengerjakan dengan anggota tubuh”. (HR Ibnu Majah).

2. Iman kepada para Malaikat, adalah sebuah keimanan terhadap keberadaan para Malaikat berikut tugasnya yang diberikan oleh Allah SWT. Keimanan kepada pada Malaikat secara benar, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perilaku manusia, karena tidak ada satu ucapan manusia yang tidak dihadiri dan dicatat oleh Malaikat bertugas untuk itu. (QS 50:18).

3. Iman kepada kitab-kitab autentik yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-rasul-Nya, yaitu Kitab Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Qur’an, karena kitab Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, utusan terakhir pembawa risalah Allah SWT bagi umat manusia.

4. Iman kepada para Nabi dan Rasul, pembawa risalah Allah SWT bagi umat manusia, yang wajib diimani adalah 25 nabi (seperti yang disebut dalamAl-Qur’an) dan ditutup oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga untuk umat manusia sekarang, maka keimanan tersebut patut diikuti dengan berupaya semaksimal mungkin mengamalkan sunah Rasul Muhammad SAW.

5. Iman kepada hari akhir menjadipenting, karena dengan keimanan yang benar terhadap hari akhir ini, manusia diharapkan dapat lebih mampu mengendalikan diri dalam kesehariaanya, sehingga senantiasa berupaya memperbanyak amal saleh/kebaikan, dan menghindari perbuatan maksiat dan dosa.

6. Iman kepada qadha dan qadar akan menjadikan manusia senantiasa berfikir positif dan ikhlas terhadap ketetapan Allah SWT, karena ia meyakini bahwa segala sesuatu terjadi hanya dengan izin Allah SWT.

Bagaimana manusia menyikapi  ajaran Allah SWT untuk mengimani rukun iman di atas, dapat dikelompokkan menjadi 5 golongan, yaitu mukmin, kafir, munafik, musyrik, dan murtad.

1. Mukmin, yaitu golongan manusia yang menerima dan meyakini rukun iman yang enam itu dengan tulus dan jujur sepenuh hatinya, yang kemudian diucapkan melaui lisan serta dibuktikan dengan perilaku dan perbuatan (QS 2:1-5).

2. Kafir, yaitu golongan manusia yang menolak rukun iman secara terbuka dan terang-terangan, (QS 3:6-7).

3. Munafik, yaitu golongan manusia yang berpura-pura menerima akidah Islam, namun dari hati sanubari yang paling dalam, mereka menolak atau tidak memercayai akidah Islam. (QS 2:8-10).

4. Musyrik, yaitu golongan manusia yang menyekutukan Allah SWT dengan sembahan-sembahan atau tandingan-tandingan lain. Mereka menuhankan Allah, tetapi masih menyembah Tuhan-Tuhan yang lain. (QS 2:165, QS 10-18).

5. Murtad adalah golongan manusia yang semula beriman kepada Allah SWT, kemudian berbalik menjadi kafir. (QS 4:137).

Iman merupakan dasar dari ajaran Islam, mengingat iman adalah perjanjian dalam hati sehingga iman setiap muslim tidak dapat dilihat secara kasat mata. Namun iman berfungsi sebagai fondari dalam hidup seorang muslim. Seorang yang telah mengaku beriman, selanjutnya diminta untuk menjaga keimanannya dan akan terlihat melalui tindakan nyata melalui kesanggupannya untuk mematuhi ketentuan syariah yang ditetapkan oleh Allah SWT, yaitu dengan cara melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Syariah

Kosa kata syariah dalam bahasa Arab memiliki arti jalan yang ditempuh atau garis yang seharusnya dilalui. Dari sisi terminologi, syariah bermakna pokok-pokok aturan hukum yang digariskan oleh Allah SWT untuk dipatuhi dan dilalui oleh seorang muslim dalam menjalani segala aktivitas hidupnya (ibadah) di dunia. Semua aktivitas kehidupan seperti bekerja, memasak, makan, belajar, sholat, dan lain sebagainya adalah merupaka ibadah sepanjang diniatkan untuk mencari ridha Allah.

Ketentuan syariah bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif, berarti mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dengan Allah SWT. Di dalamnya meliputi ibadah mahdhah dan ibadah muamalah. Ibadah mahdhah mengatur mengenai hubungan antara manusia denganAllah SWT seprti shalat, puasa, haji, dan lainnya. Sedangkan ibadah muamalah mengatur mengenai hubungan antara sesama manusia serta antara manusia dengan makhluk atau ciptaan Allah SWT lainnya termasuk alam semesta. Hukum asal ibadah mahdhah adalah bahwa sagala sesuatu dilarang untuk dikerjakan, kecuali dibolehkan dalam Al-Quur’an atau dicontohkan Nabi Muhammad SAW melalui As-Sunah. Sebaliknya hukum asal ibadah muamalah adalah bahwa segala sesuatu dibolehkan untuk dikerjakan, kecuali larangan dalam Al-Qur’an atau As-Sunah.

Universal, bermakna dapat diterapkan bagi semua manusia dalam setiap waktu dan keadaan. Sifat universal akan terlihat lebih jelas dalam aturan mengenai muamalah, ketika Allah mengharamkan babi dan riba, maka haram untuk seluruh manusia, sejak dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai dengan akhir zaman.

Aturan mengenai ibadah muamalah, meliputi berikut ini :

1. Hukum keluarga (ahwalus syakhsiyah) yang mengatur hubungan suami-istri, anak dan keturunan termasuk sistem waris.

2. Hukum privat (ahkamul madaniyah) yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan hak manusia satu sama lain dalam tukar-menukar kebendaan dan manfaat, seperti jual beli, perserikatan dagang, sewa-menyewa, utang-piutang.

3. Hukum pidana (ahkamul jinaiyah), hukum acara (ahkamul murafaat) yang berhubungan dengan peradilan, persaksian, bukti-bukti, sumpah, dan sebagainya.

4. Hukum perundang-undangan (ahkamul dusturiyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan asas dan cara pembuatan undang-undang.

5. Hukum internasional (ahkamul dauliyah) yaitu hukum yang mengatur hubungan negara Islam dengan negara non-Islam dalam bidang-bidang perdamaian, keamanan, perekonomian, kebudayaan, dan lain-lain. Yang juga mengatur muamalah antara warga negara nonmuslim yang berada di negara Islam dengan warga negara Islam itu sendiri.

6. Hukum ekonomi dan keuangan (ahkamul iqthisadiyah), yaitu hukum-hukum yang mengatur sumber-sumber keuangan dan pengeluarannya, hak-hak fakir miskin, dam hubungan keuangan antara pemerintah dan warga negaranya.

Dengan demikian, dapat disampaikan bahwa cakupan aturan syariah dalam kehidupan begituluas, termasuk di dalamnya mengenai hukum ekonomi, maka akuntansi syariah merupakan salah satu bentuk pengalaman dari aturan syariah. Selain itu, akuntansi syariah juga berfungsi untuk menguatkan informasi ekonomi Islam/transaksi yang sesuai dengan kaidah Islam melalui pola pengolahan informasi akuntansi tang juga berlandaskan nilai-nilai Islam.

Akhlak

Akhlak sering juga disebut sebagai ihsan (dari kata Arab ‘hasan’, yang berarti baik). Definisi menurut Nabi Muhammad SAW : “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Tuhanmu seolah-olah engkau melihat-Nya sendiri, kalaupun engkau tidak melihat-Nya, maka Ia melihatmu.” (HR Muslim).

Melalui ihsan, seseorang akan selalu merasa bahwa dirinya dilihat Allah SWT yang mengetahui, melihat, dan mendengar sekecil apa pun perbuatan yang dilakukan seseorang, walaupun dikerjakan di tempat tersembunyi. Bahkan Allah SWT mengetahui segala pikiran dan lintasan hati makhluknya. Dengan memiliki kesadaran seperti ini, seorang mukmin akan selalu terdorong untuk berperilaku baik, dan menjauhi perilaku buruk.

Akhlak dalam Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan Rasul, dengan sesama manusia dan alam erta dengan dirinya sendiri.

1. Tuntunan unruk akhlak kepada Allah dan Rasul sebagaimana dalam(QS 3:31-32).

“Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya, Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat zalim.”

2. Tuntunan akhlak kepada diri sendiri terdapat dalam (QS 2:44)

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir.”

3. Tuntunan akhlak kepada sesame manusia terdapat dalam (QS 2:83) dan (QS 31:17-19).

“Hai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah orang mengerjakan yang baik, dan cegahlah dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpahmu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.”

“Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

4. Tuntunan akhlak kepada alam terdapat dalam (QS 2:30), (QS 59:21), dan (QS 10:23).

“Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia! Sesungguhnya kezalimanmu bahayanya akan menimpa dirimu sendiri, itu hanya kenikmatan hidup duniawi, selanjutnya kepada Kami-lah kembalimu, kelak akan Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu perbuat.”

Dari kumpulan ayat tersebut, diketahui bahwa akhlak kepada Allah dan Rasul adalah mencintai serta menaatinya, sedangkan diri sendiri misalnya shalat (melakukan ibadah mahdhah) serta mengajak orang kepada kebaikan. Tuntunan akhlak kepada manusia lain adalah mengajak orang kepada kebaikan, bersabar serta jangan berlaku sombong, sedangkan kepada alam adalah tidak berbuat kerusakan di bumi Allah ini.

Kesesuaian dan keselarasan antara akidah, syariah, dan akhlak yang saling terkait, antara lain dapat kita cermati dari Hadis Nabi berikut ini :

1. “Tidak beriman orang yang tertidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya tidak bisa tidur karena lapar.” (HR Buhkari & Al Hakim).

2. “Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam keadaan beriman, tidak ada pencuri yang di saat mencuri dalam keadaan beriman. Begitu pula tidak ada peminum khamar di saat meminum dalam keadaan beriman.” (HR Bukhari Muslim)

Hukum Islam

Hukum islam secara istilah disebut hukum syara’ adalah hukum Allah yang mengatur perbuatan manusia yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk dikerjakan atau ditinggalkan atau pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf. Hukum syara’ hanya dapat diambil dari sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunah, Ijmak’, dan Qiyas. Hukum atau norma perbuatan yang tidak diambil dari sumber-sumber tadi tidak disebut sebagai hukum syara’. Misalnya kaidah-kaidah (norma) adat istiadat, undang-undang atau hukum selain Islam.

Empat Mazhab Fiqh yang bersumber dari para Ahli fikih seperti Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam As-Syafi’I, dan Al-Imam Ahmad bin Hanbali, mengklasifikasikan hukum Islam menjadi 5, yaitu :


1. Wajib

Adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.

Wajib, ditinjau dari beban kewajiban kepada setiap orang/sekelompok orang mukalaf-yang dimaksud mukalaf adalah orang yang telah terkena kewajiban mengikuti syariah, dapat dibagi menjadi 2 berikut ini :

a. Wajib ‘ain yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang mukalaf. Artinya, bila hanya sebagian orang mukalaf saja yang mengerjakan, sedang orang lain tidak mengerjakannya, maka kewajiban tersebut tidak membebaskan beban orang yang tidak mengerjakannya. Contoh : kewajiban menjalankan shalat, membayar zakat, memenuhi janji yang pernah diucapkan.

b. Wajib kifa’I (kifayah) yaitu kewajiban yang dibebankan pada sekelompok orang mukalaf. Artinya, apabila untuk mengerjakan suatu kewajiban, dibutuhkan jumlah orang tertentu untuk melaksanakannya, dan jumlah orang yang mengerjakan tersebut dianggap cukup maka orang mukalaf lain yang tidak mengerjakannya tidak berdosa. Akan tetapi bila tidak, maka seluruh orang mukalaf memikul dosanya karena tidak terlaksananya kewajiban tersebut. Contoh : memandikan, mengafani, menshalatkan serta menguburkan jenazah, ber-amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan rumah sakit Islam dan mendirikan perusahaan yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam. Wajib kifa’I itu dapat berubah menjadi wajib ‘ain apabila orang yang sanggup menjalankan beban itu hanya satu orang sedang orang lain tidak sanggup, contoh : kalau di suatu daerah hanya ada seorang dokter saja yang mampu mengobati orang yang sedang sakit, maka kewajiban untuk mengobati tersebut bagi dokter itu adalah wajib ‘ain,biar pun semula kewajiban itu hanya wajib kifa’i.


2. Mandub/Sunah.

Ialah perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan, orang yang meninggalkan tidak mendapat dosa.

3. Haram.

Ialah perbuatan yang apabila ditinggalkan, akanmendapat pahala dan apabila dikerjakan,orang yang mengerjakannya akan mendapat dosa.

4. Makruh.

Ialah perbuatan yang apabila ditinggalkan, akan mendapat pahala dan apabila dikerjakan,tidak mendapat dosa.

5. Mubah.

Ialah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, tidak mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa.

Pengertian mubah diatas bukanlah tentang perkara yang tidak diatur oleh Islam, tetapi ia merupakan salah satu hukum syara’ yang ditunjukkan oleh dalil-dalil (berupa kebolehan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan).

Pada dasarnya,tujuan dari hukum Islam adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (QS 21:107)
“dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.

Sasaran Hukum Islam.

Hukum Islam memiliki 3 sasaran, yaitu : penyucian jiwa, penegakan keadilan dalam masyarakat, dan perwujudan kemaslahatan manusia. (Zahroh, 1999)

Penyucian Jiwa

Penyucian jiwa dimaksudkan agar manusia mampu berperan sebagai sumber kebaikan – bukan sumber keburukan – bagi masyarakat dan lingkungannya. Hal ini dapat tercapai apabila manusia dapat beribadah dengan benar, yaitu dengan hanya mengabdi kepada Tuhan yang benar-benar merupakan Pecipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa alam semesta, bukan kepada yang mengaku Tuhan serta dengan cara yang benar pula.

Dapat disimpulkan bahwa ibadah yang dilakukan dengan niat dan cara yang benar akan menumbuhkan rasa kasih saying, jiwa tolong-menolong, kesetiakawanan sosial sehingga akan tercipta masyarakat yang aman dan tenteram. Dengan cara ini, manusia akan menjadi sumber kebaikan bagi manusia lainnya.


Menegakkan Keadilan dalam Masyarakat.

Keadilan disini adalah meliputi segala bidang kehidupan manusia termasuk keadilan dari sisi hukum, sisi ekonomi, dan sisi persaksian. Semua manusia akan dinilai dan diperlakukan Allah secara sama, tanpa melihat kepada latar belakang strata sosial, agama, kekayaan, keturunan, warna kulit, dan sebagainya.

Keadilan adalah harapan dan fitrah semua manusia, sehingga Allah melarang manusia berlaku tidak adil. Dalam peperangan, Islam mengajarkan manusia untuk tidak boleh berbuat keji, serta harus tatap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan akhlak yang mulia. 

Mewujudkan Kemaslahatan Manusia.

Semua ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunah mempunyai manfaat yang hakiki yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia, karena Al-Qur’an berasal dari Allah yang sangat mengetahui tabiat dan keinginan manusia, dan As-Sunah dari Rasul yang mendapat bimbingan langsung dari Allah SWT.

Mewujudkan kemaslahatan manusia di dalam Islam dikenal sebagai Maqashibus Syariah (Tujuan Syariah). Dari segi bahasa maqasidsyariah berarti maksud dan tujuan adanya hukum Islam yaitu untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan ini ada lima unsur pokok yang harus dipelihara yaitu agama, jiwa, aka, keturunan, dan harta.

1. Memelihara Agama (Al muhafazhah ‘alad Dien).

Nilai-nilai yang dibawah oleh Islam,membuat manusia menjadi lebih tinggi derajatnya daripada hewan. Islam melindungi kebebasan beragama, sebagaimana disebutkan dalam (QS 2:256).

“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas yang benar daripada jalan yang salah.”

Untuk memelihara agamanya, Allah mewajibkan manusia untuk shalat, zakat, puasa, haji. Apabila manusia tidak melakukan peribadatan tersebut maka di mata Allah ia akan mendapatkan dosa karena tidak menjalankan apa yang diperintahkannya.

2. Memelihara Jiwa (Al muhafazhah ‘alan Nafs).

Memelihara jiwa ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat agar manusia terhindar dari pembunuhan, penganiyaan, baik fisik maupun phisik, fitnah, caci maki dan perbuatan lainnya.

3. Memelihara Akal (Al muhafazhah ‘alal Aql).

Menjaga akal bertujuan agar tidak terkena kerusakan yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi tak berguna lagi di masyarakat sehingga dapat menjadi sumber keburukan.

Akal merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan binatang. Namun demikian, Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa manusia dapat menjadi lebih hina daripada hewan bila tidak memiliki moral.

Akal membuat menusia mempu membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta antara yang benar dan yang salah. Bila seseorang akalnya sudah rusak, maka dia akan melakukan apa saja yang dia suka tanpa peduli bagaimana penaruhnya pada orang lain dan lingkungannya. Jika akal seseorang rusak, maka orang tersebut tidak hanya membahayakan dirinya sendiri tapi juga dapat membahayakan orang lain dan lingkungannya.

4. Memelihara Keturunan (Al muhafazhah ‘alan nasl).

Memelihara keturunan adalah memelihara kelestarian manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar terjalin rasa persahabatan dan persatuan di antara sesame umat manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pernikahan yang sah, sesuai dengan ketentuan syariah, sehingga dapat terbentuk keluarga yang terteram dan saling menyayangi. Seorang anak yang dilahirkan di luar pernikahan, akan mengalami perkembangan mental yang kurang sehat sehingga dirinya tidak berkembang secara utuh.

Oleh karena itu, untuk memelihara keturunan, ditetapkan sanksi hukuman yang keras bagi orang yang melakukan perbuatan zina. Hukuman itu harus dilakukan di hadapan banyak orang. Sebagian orang menyatakan hukum Islam sadis, karena tidak mengetahui kemaslahatan yang jauh lebih besar yaitu menyelamatkan generasi di masa yang akan datang. “Dihukum dihadapan orang banyak”, adalah memalukan dan ini akan memberi efek jera sehingga membuat orang berpikir berjuta kali sebelum dia memperkosa atau berbuat zina. Bagi yang sudah berzina dan dijatuhkan hukuman sesuai ketentuan Allah, insyaAllah Allah mengampuni dosanya.

5. Memelihara Harta (Al muhafazhah ‘alal Mal).

Menjaga harta, bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah. Aturan syariah mengatur proses perolehan dan pengeluaran harta. Dalam memperoleh harta harus bebas dari riba, judi, menipu, merampok, mencuri, dan tindakan lainnya yang dapat merugikan orang lain.

Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa ketentuan syariah bertujuan untuk kemaslahatan bagi manusia dan juga lingkungannya. Seharusnya manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya mau tunduk, patuh, dan pasrah kepada ketentuan syariah dari Allah SWT tadi (QS 2:208). Namun demikian, Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan memberikan akal sebagai alat untuk melakukan pilihan berikut menerima konsekuensinya. Akibatnya, aka nada sebagian manusia yang mau tunduk, patuh dan pasrah kepadaaturan (hukum) Allah SWT, dan sebagian lagi tidak mau tunduk, patuh dan pasrah kepada aturan (hukum) Allah SWT dan sebagian lagi akan mengikuti sebagian hukum Allah dan mengabaikan sebagian yang lain.

Sumber :

Rangkuman  Materi Kuliah (UMI)