Saturday 30 April 2016
MENDEKATI IDEAL
Mendekati Ideal
Dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
Sesungguhnya manusia seperti unta sebanyak seratus, hampir-hampir tidaklah engkau dapatkan di antara unta-unta tersebut, seekor pun yang layak untuk ditunggangi. (HR. Bukhari, no. 6498).
Maksud hadits, tak ada memang yang sempurna. Namun tetap memang ada yang mendekati ideal atau kesempurnaan.
Karena Rasul juga mengatakan bahwa yang terbaik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat dosa.
Setiap manusia pernah berbuat salah. Yang paling baik dari mereka adalah yang mau bertaubat.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Setiap manusia pernah berbuat salah. Namun yang paling baik dari yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat. (HR. Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah, no. 4251; Ahmad, 3: 198. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
(Rumaysho)
Dikutip dari : Pusat Buku Sunnah
Share yuk mudah2an teman anda mendapat faedah ilmu dari status yg anda bagikan dan menjadi pembuka pintu amal kebaikan bagi anda.. aamiin..
11 KUNCI KEBAHAGIAAN
11 Kunci Kebahagiaan
Berkata imam Sufyan at-Tsauri rohimahulloh ketika berwasiat kepada Ali Ibnul Hasan as-Sulamiy:
[1] Wajib bagi Anda untuk sedikit bicara niscaya hati Anda akan lunak.
[2] wajib bagi Anda perpanjang diam, niscaya Anda mampu bersikap waro' (berhati-hati menghindari hal-hal yg haram, syubhat, dan tidak bermanfaat bagi akhirat).
[3] Jangan ambisi terhadap dunia.
[4] Jangan menjadi orang yang hasad niscaya Anda akan mudah faham.
[5] Jangan menjadi orang yang gemar mencela niscaya Anda akan selamat dari lisan orang lain.
[6] Jadilah orang yang berbelas kasih niscaya Anda akan dicinta oleh orang lain.
[7] Ridho-lah terhadap apa yang telah dibagikan kepada Anda dari rezeki niscaya Anda menjadi kaya.
[8] Bertawakal kepada Allah niscaya Anda menjadi kuat.
[9] Jangan Anda bersaing dengan pegiat dunia dalam urusan dunia mereka niscaya Allah cinta kepada Anda dan penduduk bumi pun cinta kepada Anda.
[10] Jadilah orang yang tawadhu' (rendah hati) niscaya dimudahkan beramal sholeh.
[11] Berbuatlah dengan kehati-hatian niscaya akan diberikan keselamatan dari atas Anda. .
(Hilyatul Awliya (8/82-85))
Oleh: Pusat Buku Sunnah
Share yuk mudah2an teman anda mendapat faedah ilmu dari status yg anda bagikan dan menjadi pembuka pintu amal kebaikan bagi anda.. aamiin
----
✏ Gabung Yuk bersama Grup Untaian Penuh Hikmah PBS di :
Web : PusatBukuSunnah.com
FB : Pusat Buku Sunnah
IG : pusatbukusunnah
Line Id : hikmahpbs
Channel Telegram : hikmahsunnah
BB : 5E02C278 (Pin Bb ke Delapan)
WA : 089695566880 ketik [Gabung PBS29 Nama]
HUBUNGAN ANTARNORMA
ISI KAIDAH HUKUM
Tuesday 26 April 2016
COBA 7 CARA JITU INI UNTUK MENGECILKAN PERUTMU YANG BUNCIT
7. Hindari Tidur Setelah Makan.
Sumber: Dunia Herbal Tiens (line official)
Monday 25 April 2016
MEMILIH KRITERIA CALON SUAMI DAN ISTRI YANG BAIK MENURUT ISLAM
Wanita yang akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik bagi anak-anaknya. Sedangkan pria akan menjadi suami atau pemimpin rumah tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
Lalu bagaimanakah supaya kita berhasil dalam memilih pasangan hidup untuk pendamping kita selama-lamanya? Adakah kriteria-kriteria khusus yang disyariatkan oleh Islam dalam memilih calon istri atau suami?
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami, sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Wanita juga cenderung mengikuti agama suami, namun tidak berlaku sebaliknya. Oleh karena itu, kriteria suami yang Islam adalah mutlak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221)
2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32).
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki-laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya.
Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk, di antaranya :
1. Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik, karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda:
“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman :
2. Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya.
a. Kesehatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari kehamilan.
b. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah.
Sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu.
c. Subur (mampu menghasilkan keturunan).
تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)
3. Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis (perawan), terutama bagi pemuda yang belum pernah nikah.
Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis :
http://duniajilbab.co.id/artikel-islami/kriteria-jodoh-yang-baik-menurut-islam/. Diakses pada Senin, 25 April 2016
KOSA KATA (VOCABULARY) BAHASA INGGRIS TENTANG DESA DAN PERTANIAN
KOSA KATA (VOCABULARY) BAHASA INGGRIS TENTANG RUMAH DAN PERABOTAN
Living room
Sunday 24 April 2016
RANGKUMAN MATERI KULIAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL KETERTIBAN UMUM
Ketertiban umum dikenal dengan berbagai istilah seperti orde public (prancis), public policy (Anglo Saxon), begitu juga pengertian mengenai makna dan isinnya tidak sama diberbagi negara.
Yaitu menjamin agar aturan-aturan tertentu dari lex fori tetap diberlakukan (tidak dikesampingkan) sebagai akibat dari pemberlakuan hukum asing yang ditunjuk kaidah HPI atau melalui proses pendekatan HPI, terlepas dari persoalan hukum mana yang seharusnya berlaku, atau apa pun isi kaidah/aturan lex fori yang bersangkutan.
b. Fungsi negatif
Yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah-kaidah hukum asing jika pemberlakuan itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-konsep dasar lex fori .
1) Masalah perbudakan
Di Indonesia memakai prinsip Nasionalitas untuk status personil. Menurut pasal 16 AB, maka juga status personil dari orang asing yang berada di Indonesia secara analogis aka dipakai pada hukum nasional mereka. Jika masalahnya terdapat orang-orang asing yang negara nasionalnya masih terbelakang dan masih mengakui perbudakan seerti negara-negara Afrika yang masih terpencil, maka apabila antara orang-orang asing ini timbul persoalan hukum dihapadkan Pengadilan Negeri Jakarta. Maka pihak hakim walaupun menurut kaidah-kaidah HPI Indonesia harus memakai kaidah-kaidah hukum nasional dari warganegara Afrika bersangkutan, tidak akan mempergunakan hukum ini. Hal itu dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi daripada sistem hukum kita dan falsafah negara Pancasila yang berdila Kemanusiaan.
2) Kematian perdata
Dalam negara-negara modern banyak kaidah hukum asing tentang kematian perdata “burgelijke dood”, akan dikesampingkan Walaupun menurut kaidah HPI kita harus memakai hukum nasional pihak-pihak yang bersangkutan, yang mengenal kematian perdata maka kaidah hukum asing ini tidak akan dipergunakan oleh hakim nasional kita.
3) Larangan perkawinan Nazi Jerman.
Larangan perkawinan yang diadakan oleh pemerintah Nazi Jerman. Pada waktu Nazi Jerman sebelum perang telah diadakan Undang-undang tahun 1931 yang melarang perkawinan antara “bangsa Aria” dengan orang-orang yang bukan Aria. Adanya larangan menikah berdasarkan ras dianggap oleh banyak negara tidak dapat diperlakukan karena melanggar ketertiban umum. Ketentuan hukum positif yang tertera dalam pasal 7 ayat 2 Peraturan Perkawinan Campuran ( Gemengde Huwelijken Regeling S. 1898 no 158), yang pada pokoknya menentukan bahwa perbedaan keturunan tidak dapat dijadikan penghalang untuk menikah. Walaupun menurut kaidah-kaidah HPI harus dipakai hukum nasional (hukum Jerman), maka dalam hal khusus ini dianggap Undang-undang perkawinan Jerman ini adalah bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan demikian tidak dapat diperguanakannya walaupun menurut kaidah HPI kita sendiri untuk hal-hal sedemikian rupa ini personeel statuut harus dipergunakan hukum nasional dari orang asing bersangkutan.
Nasionalisasi tanpa disertai kerugian, masalah ketertiban umum ini nampak pula dalam masalah pencabutan hak milik yang tidak disertai ganti rugi (istilahnya konfiskasi). Persoalannya ialah apakah benda-benda hak miliknya dicabut ini sungguh berahli kepada negara yang melakukan pencabutan itu atau masih tetap menjadi hak milik dari pemilik-pemilik yang lama.
Di zaman yang modern ini, bagi pasangan-pasangan yang belum diberkahi oleh anak dapat menyewa rahim orang lain, dan adapun perdebatan apakah penyewaan rahim diperlukan paying hukum yang melindungi hal tersebut di Indonesia. Surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Jika seorang WNI meminjamkan rahimnya kepada seorang WNA dan timbul permasalahan karena perjanjian penyewaan rahim tersebut, ada kemungkinan hukum Indonesia tidak memadai hal tersebut karena dianggap perjanjian tersebut tidak mempunyai sebab yang halal, oleh karena itu batal demi hukum.
Syarat ini diadakan supaya secara hemat dipakainya lembaga ketertiban umumu. Diantara para penulis HPI sudah dikemukakan peringatan-peringatan supaya ketertiban umum ini hanya dipakai secara hemat. Hanya jika diperlukan sekali sebagai “ultimum remedium”boleh dipakainya ini. Jika terlalu banyak dipergunakan lembaga ketertiban umum ini, kita bisa dicap sebagai menganut “rechts-farizeisme”.Jika kita terlalu cepat memakai lembaga ketertiban umum akibatnya ialah hanya pakai hukum sendiri. Kita bersifat mengagung-agungkan, mendewa-dewakan hukum sendiri secara Chauvinistis yang tentunya tidak dapat dipertanggungkanjawabkan dalam hubungan internasional. Karena selalu hendak memakai ketertiban umum menganggap segala sesuatunya yang berlainan dari hukum sendiri sudah melanggar ketertiban umum adalah sifat Parisi (rechts-farizeisme) atau chauvinismus yuridis.
4). Ketertiban umum internasional dan ketertiban umum intern
Sistem-sistem hukum dari negara-negara mengenal perbedaan antara apa yang dinamakan “ketertiban umum internasional” (internasionale openbare orde, orde public internasional) dan “ketertiban umum intern” (interne openbare orde, orde public interne). Apa yang dinamakan ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhan. Kaidah-kaidah yang termasuk ketertiban umum intern adalah kaidah-kaidah yang membatasi kebebasan perorangan.
Contoh :
Orang mesir yang beragama islam di prancis dan dianggap sudah dewasa pada usia 18 tahun.walaupun menurut hukum perdata prancis seseorang baru dewasa bila sudah mencapai umur usia 21 tahun. Tidak ada perbuatan hukum atau perjanjian yang dapat mengubah batas kedewasaan ini.Kaidah – kaidah hukum perdata prancis mengenai kedewasaan hanya termasuk ketertiban umum intern.
5. Ketertiban umum internasional adalah “nasional”
Terhadap istilah “ ketertiban umum internasional” terdengar kecaman karena sesungguhnya yang dikehendaki bukan untuk menjelaskan bahwa ketertiban umum ini bersifat tidak lain daripada “nasional”. Sejalan dengan keberatan terhadap istilah “internasional pada HPI”, maka kita harus melihat istilah ini bukan mengenai sumber dan isinya internasional. Hanya hubungan-hubungannyalah yang dianggap internasional, hanya suasananya yang dianggap internasional. Sedangkan sumber dan isi makna ketertiban umum ini adalah nasional. Istilah yang lebih baik dipergunakan adalah “ketertiban umum extern” terhadap “ketertiban umum intern”. Ketertiban umum bersifat relatif. Tergantung darpada faktor-faktor tempat dan waktu dengan istilah yang sekarang sering diperunakan dinegara tergantung situasi dan kondisi.
6. Ketertiban umum berubah menurut situasi dan kondisi
Faktor intensitas dari peristiwa yang bersangkutan dalam hubungan dengan keadaan didalam negri.Para sarjana Jerman menyebut dalam hubungan ini apa yang dipandang mereka sebagai “Inlandsbeziehungen”.
a. Perceraian
Di Prancis, sebelum 1884 perceraian tidak diperbolehkan tetapi setelah 1884 perceraian dapat dilakukan. Maka, pengertian ketertiban umum selalu berubah. Ini merupakan contoh variabilitas ketertiban umum yang dipengaruhi oleh waktu.
b. Konsepsi hak milik pribadi
Dalam konsepsi tentang hak milik pribadi berbeda-beda. Di negara x masih berpegang teguh hak milik sebagai suatu yang merupakan hak yang suci. Dalam pasal 33 UUD 1945 dan pasal 6 UUPA di negra kita sendiri yang mengedepankan bahwa hak milik adalah fungsi sosial. Hukum merupakan suatu sistem yang hidup, karena sifatnya yang hidup hukum ini bukan statis melainkan dinamis. Karenanya selalu berubah-ubah pandangan-pandangannya yang hidup dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat. Demikian pula konsepsi-konsepsi ketertiban umum, berubah-rubah pula tergantung pada situasi dan kondisi, tempat dan waktu.
c. Yurisprudensi tentang pencabutan hak milik.
Sesuai dengan konsepsi hak milik dan fungsinya maja adanya sikap yuriprudensinya yang berbeda berkenan dengan masalah pencabutan hak milik. Perisstiwa pencabutan hak milik selalu menmpunyai hubungan dengan ketertiban umum. Persoalan ketertiban umum selalu dikedepankan dalam yurisprudensi pencabutan hak milik.
d. Pernikahan Berbeda Agama
Konsepsi pernikahan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 26 menyatakan pernikahan adalah perikatan dan tidak memandang perbedaan agama sebagai penghalang sahnya pernikahan. Akan tetapi setelah dikeluarkannya UU Perkawinan Pasal 1, ketertiban umum tentang perkawinan berubah menjadi perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan agama masing-masing calon mempelai.
KESIMPULAN :
Persoalan ketertiban umum (public order), perbelakuan kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa (mandatory laws) dan persoalan-persoalan atas hak-hak yang diperoleh (vested rights) adalah beberapa dari persoalan pokok HPI, khususnya yang berkaitan dengan pernyataan tentang sejauh mana suatu forum harus mengakui atau dapat mengesampingkan sistem hukum, kaidah hukum asing, atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum asing. Jika oleh HPI telah ditentukan bahwa hukum asing harus diperlakukan, hal ini tidak berarti bahwa selalu dan dalam semua hal harus dipergunakan hukum asing ini. Jika pemakaian hukum asing ini berarti pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional Hakim, maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat mengenyampingkan hukum asing ini.
Fungsi daripada lembaga ketertiban umum adalah seolah-olah suatu “rem darurat”. Pemakaian “rem darurat” juga harus hati-hati dan seirit mungkin. Karena apabila kita terlampau menarik rem darurat ini maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik. Penyalahgunaan rem darurat ini diancam dengan hukuman. Jika kita terlalu banyak menggunakan lembaga ketertiban umum berarti kita akan selalu memakai hukum nasional kita sendiri daripada hal HPI sudah menentukan dipakainya hukum asing. Dengan demikian maka tidak dapar berkembangnya HPI ini.
Sudargo, Gautama, 1977,”Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia”, Bina cipta,Jakarta.
http://vannyendrikap.blogspot.co.id/ (Di akses pada Sabtu, 2 April 2016 )
MATERI KULIAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL TENTANG KUALIFIKASI DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
1). Istilah-istilah
Kualifikasi adalah bagian dari proses yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum), mendenifikasikannya dan kemudian menempatkannya kedalam suatu katagori yuridik tertentu. Ada dua jenis kualifikasi, yaitu :
• Kualifikasi fakta (classification of facts)
Yaitu proses kualifkasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta yang dihadapi dalam sebuah peristiwa hukum (atau perkara) untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issue), sesuai dengan sistem klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku didalam suatu sistem hukum tertentu.
• Kualifikasi hukum ( legal classification )
Yaitu penetapan tentang penggolongna/ pembagian seluruh kaidah hukum di dalam suatu hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan atau katagori hukum tertentu.
1. Kwalifikasi menurut lex fori
Menurut pendirian ini kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil sang hakim. Pengertian-pengertian yang dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus dikwalifikasikan menurut sistem hukum negara asing hakim sendiri. Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Prancis). Franz kahn lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori karena ada alasan-alasan :
a. Kesederhanaan ( simplycity)
Kesederhanaan ( simplycity) sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan lex fori, pengertian, batasan dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.
b. Kepastian (certainty)
Kepastian (certainty) sebab pihak-pihak yang berperkara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa atau hubungan hukum apakah perkaera mereka akan dikualifikasikan oleh hakim beserta segala kosekuensi yuriknya.
Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep hukum lex fori yang paling dikenal oleh hakim. Dilain pihak kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya ketidakadilan kerena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.
Contoh kasus dalam kualifikasi lex fori : ogden vs Ogden (1908)
Kasus posisi :
a. Philip, pria warga negara Prancis, berdomisili di Prancis, dan berusian 19 tahun;
b. Philip menikah dengan sarah (wanita) yang berwarganegaraan Inggris;
c. Pernikahan Philip dan Sarah dilangsungkan dan diresmikan di Inggris (tahun 1898);
d. Philip menikah dengan Sarah tanpa izin orang tua Philip. Izin orang tua ini diwajibkan oleh hukum Prancis ( Pasal 148 Code civil);
e. Pada tahun 1901 Philip pulang ke Prancis dan mengajukan permohonan dipengadilan Prancis untuk pembatalan perkawinannya dengan Sarah dengan alasan bahwa perkawinan itu dilangsungkan tanpa izin orang tua;
f. Permohonan dikabulkan oleh pengadilan Prancis dan Philip kemudian menikah dengan seorang wanita Prancis di Prancis;
g. Sarah kemudian menggugat Philip di Inggris karena Philip dianggap melakukan perzinaan dan meninggalkan istrinya terlantar. Gugatan itu ditolak karena alasan yuridiksi.
h. Pada tahun 1904, Sarah sudah merasa tidak terikat dalam perkawinan denga Philip, kemudian menikah kembali dengan Odgen dilangsungkan di Inggris.
i. Pada tahun 1906 Odgen menggangap bahwa Sarah masih terikat dengan perkawinan dengan Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan Philip dan Sarah belum dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris
j. Odgen kemudian mengajukan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar hukum bahwa istrinya telah berpoligami
k. Permohoan diajukan di pengadiolan Inggris
Proses penyelesaian sengketa :
1) Untuk menerima atau menolak Odgen, maka hakim harus menentukan terlebih dahulu apakah perkawinan Philip dengan Sarah adalah sah atau tidak. Dalam hal titik-titik tau menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai hukum dari tempat peresmian perkawinan dah hukum Prancis karena salah satu pihak (Philip) adalah pihak yang berdomisili di Prancis;
2) Pokok perkaranya mengenai izin orang tua sebagai persyaratan perkawnan terutama dalam menetapkan apakah Philip memang memiliki kemampuan hukum untuk menikah;
3) Kaidah HPI Inggris menetapkan :
a. Persyaratan esential untuk sahnya perkawinan, temasuk persoalan kemampuan hukum seseorang pria untuk menikah harus daiatur dalam lex domicili ( menunjuk pada hukum Prancis);
b. Persayaratan formal untuk sahnya perkawinan harus tunduk pada hukum dari tempat peresmian perkawinan 9lex leci celebrationis). Jadi dalam halini menunjuk hukum Inggris;
c. Karena hakim pertama-tama menunjuk arah hukum Prancis sebagai lex cause, untuk menentukan kemampuan hukum A untuk menikah, pada tahap ini didasari bahwa berdasarkan Pasal 148 Code civil Prancis dapat disimpulkan laki-laki yang belum berusian 25 tahun tidak dapat menikah, apabila tidak diizinkan oleh orangtuanya. Dengan demikian berdasarkan hukum intern Prancis, tidak adanya izin orang tua harus menyebabkan batalnya perkawinan antara Philip dan Sarah.
4) Dalam kenyataan, hukum Inggris memutus perkara dengan cara berpikir sebagai berikut:
a. Perkawinan antara Philip dan Sarah dinyatakan tetap sah karena “izin orang tua” dikualifikasikan berdasarkan hukum Inggris (lex fori);
b. Berdasarkan penyimpulan diatas, perkawinan antara Sarah dan Odgen dianggap tidak sah karena salah satu pihak Sarah dianggap masih terikat perkaiwinan dengan Philip dan karena itu dianggap poligami;
c. Karena itu, permohonan Odgen kemudian dikabulkan dan perkawinan Odgen dan Sarah dibatalkan oleh pengadilan Inggris.
3) Kualifikasi secara otonom
Kualifiaksi ini berdasarkan methodos comparative (perbandingan hukum). Tokoh dari teori ini adalah Ernst Rabel (Jerman) dan Beckett ( Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak dari penolakan mereka terhadap asumsi yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu hanya hukum intern dari forum. Menurut penganut teori ini, dalam tindakan kualifikasi terhadap kumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya pada suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (besifat otonom). Artinya, dalam HPI seharusnya dikembangkan konsep-konsep (begrip) hukum yang khas dan dapat berlaku secara umum serta mempunyai makna yang sama dimanapun di dunia.
1) Kwalifikasi secara primer
Kwalifikasi secara primer adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan. Untuk dapat menentukan hukum asing manakah yang dipergunakan harus dilakukan kualifiasi menurut kaidah-kaidah HPI dari lex fori. Kaidah-kaidah HPI dari lex fori ini harus di kualifikasi menurut hukum materiil dari Hakim.
2) Kwalifikasi secara sekunder
Apabila sudah mengetaui hukum asing manakah yang harus dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang sudah dikemukan itu.
5). Pengecualian- pengecualian terhadap pemakaian kualifikasi lex fori
a. Kualifikasi kewarganegaraan tidak dilakukan menurut hukum dari forum hakim;
b. Kualifikasi mengenai “bergerak atau tidak bergerak” suatu benda ditentukan oleh “lex rei sitae” (lex situs);
c. Kualifikasi suatu kontrak menurut “maksud para pihak “ bidang perjanjian, maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki;
d. Kualifikasi dari “perbuatan melanggar hukum;
e. Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara” berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaidah HPI, maka pengertian-pengertian dalam persetujuan-persetujuan internasional itu. Kualifikasi ini dilakukan secara terlepas dari lex fori masing-masing negara peserta;
f. Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh makamah-makamah internasional dilakukan menurut ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk mahkamah-mahkamah interasional bersangkutan.
sumber :
http://hukumperdatainternational2014.blogspot.co.id/2014/12/kualifikasi.html (diakses pada Selasa, 29 Maret 2016).