Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Friday 4 November 2016

PENGERTIAN PERCERAIAN

No comments



A. Perceraian Menurut Hukum Agama Islam

Perceraian menurut hukum agama islam yang telah dipositifkan dalam pasal 38 dan pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 dan telah dijabarkan dalam pasal 14 sampai dengan pasal 18 serta pasal 20 sampai dengan pasal 36 peraturan-peraturan Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan ( selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975 , mencakup: pertama,” cerai talak”, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan siding Pengadilan Agama ; kedua,” cerai gugat”, yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agam, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai hukum tetap.

B. Pengertian Perceraian Menurut Undang-Undang 

Istilah perceraian terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukan adanya :

1. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan diantara mereka.

2. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

3. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri. 

C. Pengertian Perceraian Menurut Doktrin Hukum

Perceraian  adalah ”penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.  Subekti (1985:42)

Perceraian ini berupa penghapusam perkawinan , baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau istri. Namun subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang lazim disebut dengan “cerai mati”. Pengertian yang diungkapkan oleh subekti lebih sempit daripada pengertian perceraian menurut pasal 38 UU No.1 Tahun 1974 sebagaimana telah diuraikan diatas
.
Latar belakang dan tujuan perceraian dapat dipahami dari penjelasan Soemiyati bahwa dalam melaksanakan kehidupan suami istri tentu saja tidak selamanya berada dalam situasi yang damai dan tenteram, kadang-kadang terjadi juga salah paham antara suami istri atau salah satu pihak melainkan kewajibannya, tidak percaya mempercayai satu sama lain dan terus –menerus terjadi pertengkaran antar suami istri tersebut. Lebih lanjut, soemiyati menjelaskan bahwa perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi agama islam tetap memandang perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan dinyatakan Shahih oleh Hakim, yaitu:

Yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah perceraian. 

Bagi orang yang melakukan perceraian tampa alasan, Nabi Muhammad SAW berkata dalam Hadis yang diriwayatkan oleh An-Nasa’I dan Ibnu Hibban, yaitu:

Apakah kamu yang menyebabkan salah seorang kamu memepermainkan hukum Allah, ia mengatakan: Aku sesungguhnya telah mentalak (istriku) dan sungguh aku telah merujuk(nya).

kedua hadis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian itu walaupun diperbolahkan oleh agama, tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh suami istri, apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri tersebut. Hal ini juga terdapat dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah (2) ayat 229, Allah berfirman :

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim".

Menurut Syaikh Hasan Ayyub suami ebenarnya hukum cerai menurut syariat islam ada 5 (lima) tergantung sebab-sebab dan waktunya, yaitu sebagai berikut :

a.    Wajib, yaitu cerainya orang yang melakukan ila’ (sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya), setelah masa menunggu apabila ia menolak fai’ah (kembali menyetubuhi istrinya), dan cerai yang dilakukan dua hakam dalam kasus percekcokan apabila keduanya melihat cerai lebih baik bagi pasangan suami istri.

b.    Makruh, yaitu cerai tanpa hajat. Ada dua riwayat mengenai cerai macam ini, yakni sebgai berikut:

-  Hukumnya haram

karena mendatangkan mudharat bagi diri sendiri dan istri, serta kehilangan maslahat yang mereka peroleh tanpa ada hajat. Karena itu hukumnya haram, sama seperti memusnahkan harta benda. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw,” Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”.

- Boleh

 berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw,” Perkara yang paling dibenci Allah adalah Cerai”. Allah tidak menghalalkan sesuatu yang lebih dibenci-Nya daripada cerai”(HR.Abu Daud, isnad-nya cacat). Cerai yang dibenci adalah cerai tampa hajat, dan Nabi Muhammad saw menyebutnya halal. Juga karena cerai meniadakan pernikahan yang mengandung maslahat-maslahat yang dianjurkan, sehingga hukumnya makruh.

-Mubah

yaitu ketika ada hajat; baik karena buruknya perangai istri dan pergaulannya, dank arena istri dirugikan tanpa mencapai tujuan.

- Dianjurkan

 yaitu ketika istri melalaikan hak-hak Allah yang wajib, seperti shalat dan sebagainya, dan suami tidak dapat memaksanya, atau suami mempunyai istri yang tidak menjaga kesucian moral. Dalam kondisi ini, tidak ada larangan melakukan ‘adhl (melarang istri menikah dengan orang lain dengan cara menahannya, padahal suami sudah tidak menyukainya) dan mempersulit istri dengan membayar tebusan kepada suami.

Allah Swt berfirman (Qs. An-Nisaa’(4):19) :

Artinya:

 “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak".

- Dilarang

 yaitu cerai sewaktu haid atau dalam masa suci dimana suami telah menyetubuhinya, Ulama seluruh negeri dan zaman menyepakati keharamannya, dan disebut juga cerai bid’a, karena orang yang bercerai itu menentang sunnah dan meninggalkan perintah Allah Swt dan rasul-Nya.
Allah Swt berfirman (Qs. Ath Thalaaq’(65):1) :

Artinya” 

 "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru".

Nabi Muhammad Saw juga bersabda :

“ Dan bila mau, ia boleh mencerainya sebelum ia menyentuh. Itulah iddah yang karenanya Allah memerintahkan untuk mencari istri.”(muttafaq alaih)". 

(Syekh Hasan Ayyub,2002 hlm.248-249)

Pengertian perceraian menurut hukum adat adalah peristiwa luar biasa, merupakan problema social dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah. Menurut dhodjodiguno, perceraian ini dikalangan orang jawa ialah suatu hal yang tidak disukai. Cita-cita orang jawa adalah perjodohan sekali seumur hidup, bilamana mungkin sampai kaken-kaken – ninen-ninen, artinya sampai si suami menjadi aki (kakek) dan si istri menjadi nini (nenek), yaitu orang tua-tua yang sudah bercucu-cicit.( Djojodiguno,1995 hlm.143).

1.    Asas-asas Hukum Perceraian

a.    Pengertian Asas Hukum

Menurut Mahadi, kata asas atau prinsip identik dengan principle dalam bahasa inggris yang erat kaitanya dengan istilah principium berarti permualaan, dalam arti tersebut , kata principle dipahamkan sebagai sumber yang abadi dan tetap dari banyak ha, aturan atau dasar dari tindakan seseorang, suatu pernyataan ( hukum, aturan, kebenaran ) yang dipergunakan sebagai dasar untuk menjelaskan sesuatu peristiwa. Mahadi(1989 hlm.119)
Peter Mahmud Marzuki, menegaskan bahwa asas-asas hukum dapat saja timbul dari pandangan akan kepantasan dalam pergaulan social, yang kemudian diadopsi oleh pembuat undang-undang, sehingga menjadi aturan hukum, namun tidak semua asas hukum dapat dituangkan menjadi aturan hukum. Peter Mahmud Marzuki (2003 hlm.193-221)

Keberadaan asas hukum adalah condition sine quanon bagi norma hukum, karena mengandung nilai-nilai moral dan etis, yang mengarahkan pembentukan hukum yang memenuhi nilai-nilai filosofis berintikan rasa keadilan dan kebenaran, nilai-nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, serta nilai-nilai yuridis yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Soejadi ( 1999 hlm.68)

Memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa asas hukum adalah sebagai berikut:

1. Refleksi dari kandungan nilai-nilai moral dan tuntutan etis dalam semangat kebenaran dan keadilan yang mengarakterisasi hukum itu hidup dan berkembang dalam masyarakat.

2.  Dasar dan tumpuan yang luas.

3.  Alasan-alasan pembenar hukum yang rasional bagi bentuk, isi, sifat dan tujuan norma-norma dalam hukum fositif.

b.    Fungsi Asas Hukum

Beranjak dari pemahaman scholten mengenai asas hukum, brunggink menegaskan pemikirannya bahwa fungsi asas hukum sebagai meta-kaidah berkaitan dengan kaidah hukum dalam bentuk kaidah perilaku. Asas hukum hanya akan memeberikan argument-argumen bagi pedoman perilaku yang harus diterapkan dan asas-asas itu sendiri tidak memberikan pedoman (bagi pelaku). Asas hukum ini memainkan peranan pada interprestasi terhadap aturan hukum, sehingga menentukan wilayah penerapan kaidah hukum, karena hukum juga memberikan arah pada perilaku yang dikehendaki. J.J.H Bruggik (1996 hlm.120).

Menurut Notohamidjoyo, asas hukum memiliki arti penting sebagai berikut:

a)    Perundang-undangan harus menggunakan asas hukum sebagai pedoman kerjanya.

b)    Hakim melakukan interprestasi hukum berdasarkan asas-asas hukum.

c)    Hakim perlu mempergunakan asas hukum apabila ia akan melakukan analogi.

d)    Hakim dapat melakukan koreksi terhadap perundang-undangan apabila undang-undang karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanyaMemperhatikan penjelasan diatas, maka dapat dipahami bahwa fungsi hukum adalah:

1) Sebagai meta-norma yang wilayah penerapannya lebih luas daripada dan yang memberikan arah bagi norma-norma dalam aturan hukum positif yang dinyatakan dalam bentuk norma perilaku yang dikehendaki;

2) Sebagai penjalin ketersebaran norma-norma dalam aturan-aturan hukum positif sekaligus fundasi pengujian, penilaian dan pembenaran kritis-etis terhadap aturan-aturan hukum positif sebagai suatu sistem;

3)  Sebagai bahan-bahan (material) hukum yang mendasar dan meluas untuk mengisi kekosongan hukum ketika aturan-aturan hukum positif yang ada memiliki keterbatasan dan tidak dapat memberikan solusi normative untuk mengatasi persoalan hukumnya.

No comments :

Post a Comment