Nisluf Blog

Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Tuesday 29 March 2016

ASPEK HUKUM PERDATA DALAM PELAYANAN KESEHATAN

No comments
ASPEK HUKUM PERDATA DALAM PELAYANAN KESEHATAN
 
Aspek hukum perdata dalam pelayanan kesehatan antara tenaga kesehatan dan pasien dapat dilihat dalam suatu transaksi terapeutik yang dibuat oleh kedua belah pihak.Adapun yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah transaksi (perjanjian atau verbintenis) untuk menentukan mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter [1]. Transaksi secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Het Burgerlijk Wetboek) yang selanjutnya disebut sebagai KUHPerdata, yang untuk berlakunya secara sah transaksi tersebut secara umum harus memenuhi 4 (empat) syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

(1)    Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toesteming van degene die zich verbinden);

(2)    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid om en verbindtenis aan te gaan);

(3)    Mengenai suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);

(4)    Karena suatu sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak).

Dalam transaksi terapeutik tersebut kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, dan bila transaksi sudah terjadi maka kedua belah pihak dibebani dengan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.Seperti yang disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Pada dasarnya hubungan dokter-pasien dalam tansaksi terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) dan hak atas informasi (the right to be informed).Antara dokter dan pasien timbul hak dan kewajiban timbal balik. Apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak dalam transaksi terapeutik, maka wajarlah apabila pihak yang lain terutama pihak yang merasa dirugikan akan menggugat. [2]

Dasar dalam mengajukan gugatan untuk meminta pertanggungjawaban medis adalah :

1.    Wanprestasi (Contractual Liability)

Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan, timbul karena tindakan seorang dokter yang berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut ini dapat berupa tindakan kekuranghati-hatian, atau akibat kelalaian dari dokter yang bersangkutan sehingga menyalahi persetujuan terapeutik.Dalam pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”

Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi bila telah terpenuhi unsur-unsur berikut ini: [3]

a.    Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik;

b.  Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik;

c.    Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.

Dalam gugatan atas dasar wanprestasi, ketiga untus tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kontrak terapeutik yang diajukan dengan menggunakan rekam medik.
2.    Perbuatan Melanggar Hukum (Onrechtmatige daad)

Hal tersebut dapat kita lihat dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi bahwa “Tiap perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.” Dalam gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum, maka harus dipenuhi empat syarat antara lain : [4]

a.    Pasien harus mengalami suatu kerugian;
b.    Adanya kesalahan atau kelalaian
c.    Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan;
d.    Perbuatan itu melanggar hukum.
Ciri khas gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat dilihat dari model pertanggungjawaban yang diterapkan yaitu pertanggungjawaban karena kesalahan (faults liability) yang diatur dalam pasal 1366.Pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”

Selain pasal 1366 KUHPerdata diatas, berlaku juga Pasal 1371 KUHPerdata menyebutkan bahwa :

“Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Ketentuan terakhir ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan terhadap pribadi seseorang.”

Sumber :

[1] Hermien Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik,Surabaya : Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 45

[2] Ibid hlm 46

[3] Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan – Pertanggungjawaban Dokter,Jakarta : Rineka Cipta, 2005, hlm.63.

[4] S. Soetrisno, Malpraktek : Medik dan Mediasi – sebagai alternatif penyelesaian sengketa, Tangerang : Telaga Ilmu Indonesia, 2010, hlm.8. 

Monday 28 March 2016

10 KOMPETENSI YANG HARUS DIMILIKI SEORANG WIRAUSAHAWAN

1 comment
Menurut Dun dan Bradstreet Business Credit Service (1993:1), ada 10 kompetensi yang harus dimiliki sorang wirausahawan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Knowing your business , yaitu harus mengetahui usaha apa yang akan dilakukan. Dengan kata lain seorang wirausahawan harus mengetahui segala sesuatu yang ada hubungannya dengan usaha atau bisnis yang akan dilakukan. Misalnya, seseorang yang akan melakukan bisnis perhotelan harus memiliki pengetahuan tentang perhotelan, sedangkan orang yang ingin melakukan bisnis pemasaran komputer harus memiliki pengetahuan tentang cara memasarkan komputer.



2. Knowing the basic business management , yaitu mengetahui dasar-dasar pengelolaan bisnis, misalnya cara merancang usaha, mengorganisasikan, dan mengendalikan perusahaan, termasuk dapat memperhitungkann , memprediksi, mengadministrasikan, dan membukukan kegiatan-kegiatan usaha. Mengetahui manajemen bisnis berarti memahami kiat, cara, proses, dan pengelolaan semua sumber daya perusahaan secara efektif dan efisien.

3. Having the proper attitude , yaitu memiliki sikap yang benar terhdapa usaha yang dilakukannya. Ia harus bersikap sebagao pedagang, industriwan, pengusaha, eksekutif yang sungguh-sungguh.

4.  Having adequate capital , yaitu memiliki modal yang cukup. Modal tidak hanya berbentuk materi, tetapi juga moral. Kepercayaan dan keteguhan hati merupakan modal utama dalam usaha, oleh karena itu , harus terdapat kecukupan dalam hal waktu, tenaga, tempat, dan mental.

5.  Managing finances effectively , yaitu memiliki kemampuan mengatur/mengelola keuangan secara efektif dan efisien, mencari sumber dana, dan menggunakannya secara tepat serta mengendalikannya secara akurat.

6. Managing time effiently , yaitu kemampuan mengatur waktu seefien mungkin. Mengatur, menghitung, dan menepati waktu sesuai dengan kebutuhannya.

7. Managing people , yaitu kemampuan merencanakan, mengatur, mengarahkan, menggerakkan (memotivasi), dan mengendalikan orang-orang dalam menjalankan perusahaan.

8. Satisflying customer by providing high quality product  , yaitu memberi kepuasan kepada pelanggan dengan cara menyediakan barang dan jasa yang bermutu, bermanfaat, dan memuaskan.

9. Knowing how to compete, yaitu mengetahui strategi/cara bersaing. Wirausaha harus dapat menganalisis SWOT dalam diri dan pesaingnya.

10. Copying with regulation and paperwork, yaitu membuat aturan/pedoman yang jelas (tersurat, tidak tersirat).


Sumber Bacaan : " Kewirausahaan Kiat dan Proses Menuju Sukses ( edisi 4 )" Oleh : Suryana . Penerbit Salemba Empat. halaman 86-87.

Saturday 26 March 2016

EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN

1 comment
EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN



1.    Pendahuluan


Dasar yang paling baik untuk  melambangkan bunyi ujaran atau bahasa adalah satu bunyi yang membedakan arti dilambangkan dengan satu lambang tertentu. Lambang yang dipakai untuk mewujudkan bunyi ujaran itu biasa disebut huruf. Dengan huruf-huruf itulah manusia dapat menuliskan gagasan yang semula hanya disampaikan secara lisan.

Keseluruhan peraturan tentang cara menuliskan lambang-lambang bunyi ujaran dalam suatu bahasa termasuk masalah yang dibicarakan dalam ejaan. Ejaan ialah cara melafalkan dan menuliskan huruf, kata, unsur serapan, dan tanda baca. Ejaan yang dipakai dalam bahasa Indonesia adalah ejaan fenomis, yaitu hanya satuan bunyi yang berfungsi dalam bahasa Indonesia yang dilambangkan dengan huruf. Jumlah lambang yang diperlukan tidak terlalu banyak

Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan berlaku sejak tahun 1972 sebagai hasil penyempurnaan ejaan yang berlaku sebelumnya, yaitu Ejaan van Ophuysen (1901) dan ejaan Republik (1947). Ejaan yang berlaku dalam bahasa Indonesia sekarang menganut sistem ejaan fonemis, yaitu satu tanda satu bunyi, tetapi kenyataannya masih terdapat kekurangan. Kekurangannya terlihat pada adanya fonem (bunyi) yang masih dilambangkan dengan dua tanda, yaitu /ng/,/ny/,kh/, dan /sy/. Sebaliknya dua fenom yang dilambangkan dengan satu tanda saja, yaitu /e/pepet dan /e/ taling. Hal ini dapat menimbulkan ketidakserasian dalam penyusunan ejaan bahasa Indonesia yang lebih sempurna.

2.    Pelafalan

Salah satu yang diatur dalam ejaan ialah cara pelafalan atau cara pengucapan bahasa Indonesia. Pada akhir-akhir ini sering kita dengar orang melafalkan bunyi bahasa Indonesia dengan penuh keraguan. Keraguan yang dimaksud disini ialah ketidakteraturan pemakai bahasa dalam melafalkan huruf dan kata dalam bahasa Indonesia. Misalnya, ada sebahagian orang menyebutkan atau melafalkan kata energi dengan energi (baku), enerji, enersi (tidak baku). Kesalahan-kesalahan itu berupa kesalahan menyebutkan nama huruf dan kesalahan melafalkan huruf. Kesalahan melafalkan terjadi karena lambang (huruf) diucapkan tidak sesuai dengan bunyi yang melambangkan huruf-huruf tersebut.

Kaidah pelafalan bunyi bahasa Indonesia berbeda dengan kaidah bunyi bahasa lain, terutama bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Dalam bahasa tersebut, satu bunyi yang dilambangkan dengan satu huruf, misalnya /a/ atau /g/, dapat diucapkan dengan berbagai wujud bunyi bergantung pada bunyi atau fenom yang ada disekitarnya. Lain halnya dengan bahasa Indonesia. Ketentuan pelafalan yang berlaku dalam bahasa Indonesia cukup sederhana, yaitu bunyi-bunyi dalam bahasa Indonesia harus dilafalkan atau diucapkan sesuai dengan apa yang ditulis.  Tegasnya, lafal atau ucapan dalam bahasa Indonesia disesuaikan dengan tulisan.

Perhatikan contoh berikut :

Tulisan     
 
teknik    
tegel   
energi     
agenda      

Lafal yang salah 

 Tehnik  
Tehel   
enrhi, enersi, enerji  
Ahenda

 Lafal yang benar

 teknik/t e k n i k/
tegel/t e g e l/
energi/e n e r g i/
agenda/a g e n d a/
Masalah lain yang sering menjadi muncul dalam pelafalan ialah mengenai singkatan kata dengan huruf. Sebaiknya pemakai bahasa memperhatikan pelafalan yang benar seperti yang sudah dibakukan dalam ejaan.

Perhatikan pelafalan berikut :

Tulisan    Lafal yang salah           Lafal yang benar
TV                /ti-vi/                              /te-ve/
MTQ      /em-te-kyu/,/em-te-kui        /em-te-ki/

Di dalam kaidah ejaan dikatakan bahwa penulisan dan pelafalan nama diri, yaitu nama orang, badan hukum, lembaga, jalan, kota, sungai, gunung dan sebagainya disesuaikan dengan kaidah ejaan yang berlaku, kecuali ada pertimbangan lain. Pertimbangan yang dimaksud adalah pertimbangan adat, hukum, agama atau kesejarahan, dengan  kebebasan memilih apakah mengikuti Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) atau Ejaan Yang Disempurnakan.

Demikian pula halnya dengan pelafalan unsur kimia, nama minuman, atau nama obat-obatan, bergantung pada kebiasaan yang berlaku untuk nama tersebut. Jadi, pemakai bahasa dapat saja melafalkan unsur tersebut tidak sesuai dengan yang tertulis.

Perhatikan contoh berikut :

Tulisan      Lafal yang benar
cola-cola    /ko-ka-ko-la/
HCL             /ha-se-el/
CO2                 /se 02

Kaidah pelafalan yang perlu dibicarakan disini ialah pelafalan bunyi /h/. Pelafalan bunyi /h/ ada aturannya dalam bahasa Indonesia. Bunyi /h/  yang terletak di antara dua vokal yang sama harus dilafalkan dengan jelas, seperti pada kata mahal, pohon, luhur, sihir. Bunyi /h/ yang terletak diantara dua vokal yang berbeda dilafalkan lemah atau hampir tidak kedengaran, seperti pada kata tahun, lihat, pahit. Bunyi /h/ pada seperti itu umumnya dilafalkan dengan bunyi luncur /w/ atau /y/, yaitu tawun, lihat. Payit. Aturan ini tidak berlaku bagi kata-kata pungut, karena lafal bahasa asalnya, seperti kata mahir, lahir, kohir, kohesi.

3.    Pemisahan Suku Kata

Setiap suku kata bahasa Indonesia ditandai oleh huruf vokal. Huruf vokal dapat didahului atau diikuti oleh huruf konsonan. Persekutuan atau pemisahan suku kata biasanya didapati pada penggantian baris, yaitu terdapat pada bagian akhir setiap baris tulisan. Penulis harus mengikuti kaidah-kaidah pemisahan suku kata yang diatur dalam Ejaan Yang Disempurnakan seperti berikut ini :

1)    Apabila di tengah kata terdapat dua vokal berurutan, maka pemisahan dilakukan diantara kedua vokal tersebut.

Contoh : Permainan -> per-ma-in-an, ketaatan -> ke-ta-at-an.

2)    Apabila di tengah kata terdapat dua konsonan berurutan, maka pemisahan dilakukan diantara kedua konsonan tersebut.

Contoh : ambil -> am-bil, undang -> un-dang.

3)    Apabila di tengah kata terdapat konsonan di antara dua vokal, maka pemisah dilakukan sebelum konsonan.

Contoh : bapak -> ba-pak, sulit -> su-lit

4)    Apabila di tengah kata terdapat tiga atau empat konsonan, pemisahan dilakukan diantara konsonan pertama dengan konsonan kedua.

Contoh : bangkrut -> bang-krut, instrumen -> in-stru-men

5)    Imbuhan, termasuk awalan yang mengalami perubahan bentuk dan partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya, maka penyakuannya dipisahkan sebagai satu kesatuan.

Contoh : minuman -> mi-num-an, bantulah -> ban-tu-lah

6)    Pada akhir baris dan awal baris tidak diperkenankan adanya huruf yang berdiri sendiri baik vokal maupun konsonan.

Contoh :

Salah          Benar
ikutj -          ikutju-
uga ...         ga ......
masalah i-    masalah
tu ........       itu .......

4.    Penulisan Huruf
Ada dua hal yang diatur dalam penulisan huruf, yaitu aturan penulisan huruf kapital dan aturan penulisan huruf miring.

4.1.    Penulisan Huruf Kapital

1)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata awal kalimat.

Contoh :
a.    Kopi itu telah diminum  oleh ayah
b.    Mereka adalah mahasiswa UMI

2)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.

Contoh : Nenek bertanya, “Kapan ayahmu pulang dari Negeri Belanda?”

3)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan hal keagamaan,  kitab suci, dan nama Tuhan, termasuk kata gantinya.

Contoh :
a.    Tuhan Yang Maha Esa
b.    Agama Islam
c.    Nabi Muhammad
d.    Nabi Sulaiman
e.    hamba-Nya

4)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.

Contoh :
a.    Haji Agus Salim
b.    Imam Malik
c.    Sultan Hasanuddin
d.    Sri Sultan Hamengku Buwono IX

5)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang.

Contoh :
a.    Gubernur Syahrul Y. Limpo
b.    Laksamana Muda Udara
c.    Gubernur Sulawesi Selatan
d.    Wakil Presiden Budiono
e.    Husein Sastranegara

6)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama orang.

Contoh :
a.    Amir Hamzah
b.    Halim Perdanakusumah

7)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa.

Contoh :
a.    bangsa Indonesia
b.    bangsa Inggris
c.    suku Bugis
d.    bahasa Makassar

8)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.

Contoh :
a.    tahun Hijriah
b.    Bulan Jumadil Awal
c.    Kongres Pemuda Indonesia
d.    tahun Masehi
e.    bulan Agustus
f.    Revolusi Perancis

9)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama khas dalam geografis.

Contoh :
a.    Jalan Urip Sumoharjo
b.    Selat Makassar
c.    Kali Brantas
d.    Jalan Kakatua
e.    Jazirah Arab
f.    Danau Tempe

10)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama resmi badan, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi.

Contoh :
a.    Deklarasi Malino
b.    Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
c.    Keputusan Presiden Republik Indonesia, No. 57, Tahun 1992

11)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata di dalam nama buku, majalah,  surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata partikrl, seperti di, ke, dari, untuk, dan, yang, yang tidak terletak pada posisi awal kata.

Contoh :
a.    Pelajaran Ekonomi untuk SLTA
b.    Anak Perawan di Sarang Penyamun

12)    Huruf kapital dipakai singkatan gelar dan sapaan.

Contoh :
 a.    Dr. (doktor)
b.    Sdr. (saudara)
c.    M.A. (master of arts)
d.    Prof. (profesor)

13)    Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata petunjuk hubungan  kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, nenek, kakak, dan paman yang dipakai sebagai kata ganti atau sapaan.

Contoh :
 a.    Kapan Bapak Berangkat?
b.    Permohonan Saudara telah kami pertimbangkan
c.    Mere pergi ke rumah Pak Camat

4.2.    Penulisan Huruf Miring

Penulisan huruf miring hanya bisa dipakai pada tulisan yang menggunakan mesin cetak atau mesinn tulis yang memiliki huruf miring. Penulisan huruf miring dengan melalui tulisan tangan atau menggunakan mesin tulis biasa tidak memiliki miring dapat dilakukan dengan cara lain. Cara yang dimaksud adalah kata yang akan dicetak miring diberi garis bawah dalam ketikan biasa.

5.    Penulisan Kata

Penulisan kata yang diatur dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dirinci dalam  sejumlah kaidah-kaidah. Berikut ini dijelaskan beberapa kaidah yang sering tak dipatuhi dalam penulisan. Kesalahan penulisan muncul karena kurangnya pengetahuan pengguna bahasa mengenai kaidah ejaan.

5.1.    Penulisan Kata Turunan

Unsur-unsur imbuhan pada kata turunan, yaitu awalan, sisipan, akhiran, dan kombinasi awalan dengan akhiran, ditulis serangkai dengan kata dasarnya. Kalau bentuk uang mendapat imbuhan itu merupakan gabungan kata, awalan atau akhiran itu ditulis serangkai dengan kata yang berhubungan langsung saja, sedangkan bentuk dasarnya yang berupa gabungan kata itu tetap ditulis terpisah tanpa tanda hubung. Gabungan kata yang sekaligus mendapat awalan dan akhiran ditulis serangkai tanpa tanda hubungan.

Contoh :
sebar  
disebar  
sebarkan  
disebarkan   

tanggung jawab
bertanggung jawab
tanggung jawabnya
pertanggungjawaban

 5.2.    Penulisan Kata Ulang

Kata ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung, pemakaian (2) untuk menyatakan bentuk pengulangan hendaknya dihindari. Penggunaan angka dua (2) hanya dapat dipakai pada tulisan cepat atau pencatatan saja. Pada tulisan resmi, penulisan kata ulang harus ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.

Kata ulang tidak saja berupa pengulangan kata dasar dan kata turunan, tetapi dapat pula berupa pengulangan dengan mendapat awalan dan akhiran. Bentuk pengulangan yang lain adalah pengulangan dengan perubahan bunyi pada bentuk dasar. Dalam perubahan bunyi itu kadang-kadang bentuk yang kedua sudah agak jauh dari bentuk dasarnya, namun ditinjau dari makna keseluruhannya menyatakan perulangan. Adapun bentuk kata ulang itu, kata-kata tersebut tetap ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.

Contoh :

sayur-sayur  
sayur-sayuran  
sayur-mayur 

bersahut-sahut 
mata-mata pelajaran
 bersahut-sahutan
Adapun juga bentuk pengulangan yang berasal dari bentuk gabungan kata atau yang lazim disebut kata majemuk pada pengulangan bentuk seperti ini, yang diulang hanya bagian yang pertama saja, sedangkan bagian yang kedua tidak diulang.

Contoh :

Bentuk dasar   
mata pelajaran  
rumah sakit   
kereta api    

Bentuk pengulangan
mata-mata pelajaran
rumah-rumah sakit
kereta-kereta api

5.3.    Gabungan Kata

Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk dituliskan terpisah-pisah bagian-bagiannya. Kalau salah satu unsurnya tidak dapat berdiri sendiri dan hanya muncu dalam bentuk kombinasi, maka penulisannya harus dirangkaikan.

Contoh :

Gabungan kata   
duta besar  
daya beli  
rumah bersalin  

Bentuk kombinasi
Pancasila
tunanetra
antarkota

Bentuk kata dasar seperti daya beli, rumah bersalin, ditulis terpisah bagian-bagiannya, sedangkan panca-, tuna-, dan antar- yang tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata lepas ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Sejalan dengan penjelasan di atas, maka mahakuasa, dan mahamulia ditulis serangkai karena maha- sebagai unsur terikat diikuti oleh bentuk dasar kecuali bentuk (Maha Esa) kalau yang mengikutinya bukan bentuk kata dasar, melaikan bentuk turunan, maka penulisannya dipisahkan :

Contoh :

Maha Mengetahui
Maha Penyayang
Maha Mendengar    
Maha Melihat

Gabungan kata yang sudah sebagai satu kata dan dianggap sudah padu ditulis serangkai, seperti manakala, matahari, sekaligus, daripada, hulubalang dan bumiputra. Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah pengertian dapat dituliskan dengan menggunakan tanda hubung di antara bentuk yang menjadi unsurnya. Pemberian tanda hubung pada kata tersebut diletakkan di belakang unsur yang menjadi inti gabungan kata tersebut.

Contoh :

buku sejarah baru  

buku-sejarah baru

buku sejarah-baru

5.4.    Kata Ganti ku, kau, mu, dan nya


Kata ganti –ku, -kau, -mu, dan –nya yang ada pertaliannya dengan aku, engkau, kamu, dan dia dituliskan serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Perhatikan contoh berikut ini : bukuku, bukumu, bukunya, kuambil, kauambil. Adapun kata aku, engkau, kamu, dan dia ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya atau yang mendahuluinya.

5.5.    Kata Depan di, ke, dan dari

Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Awalan di- dan ke- yang penulisannya dirangkaikan selalu berhubungan dengan kata kerja dan mempunyai pasangan atau dapat dipertukarkan dengan awalan me-, misalnya dibeli yang dapat berpasangan dengan kata membeli. Adapun kata depan di dan ke selalu menunjukkan arah atau tempat dan tidak mempunyai pasangan tetap seperti awalan di-. Cara lain yang dapat dipakai untuk mengetahui kata depan adalah dengan menggunakan kata tanya di mana dan ke mana. Semua jawaban pertanyaan di mana dan ke mana adalah kata depan.

Contoh :

a.    Di mana Amat berada? (jawabannya di sana atau di sini)

b.    Ke mana Saudara pergi ? (jawabannya di sana atau di sini)

5.6.    Partikel lah, kah, dan tah

Partikel –lah, -kah, dan –tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya. Adapun partikel pun ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, kecuali adapun, meskipun, walaupun, dan sejenisnya, yang sudah dianggap padu benar. Partikel pun ditulis terpisah karena bentuknya hampir sama dengan kata lepas. Bentuk pun seperti itu mempunyai makna juga sehingga penulisannya dipisahkan.

Contoh :

a.    Persoalan itu pun dikemukakannya (Persoalan itu juga dikemukakannya)

b.    Apa pun yang dimakannya, ia tetap kurus. (Apa juga yang dimakannya, ia tetap kurus)

c.    Kalau gratis, aku pun ikut menonton. (Kalau gratis, aku juga ikut menonton)

Disamping partikel pun, terdapat juga partikel per dalam bahasa Indonesia. Partikel per ditulis terpisah dari bagian-bagian kalimat yang mendampinginya. Partikel per ditulis terpisah karena per bentunya sama dengan kata dan mengandung arti mulai, demi, dan setiap.

Contoh :

a.    Gaji buruh dinaikkan per 1 Januari 1990. (mulai)

b.    Mobil-mobil yang melalui jembatan itu harus masuk satu per satu. (demi)

c.    Harga kain sutra itu Rp 2.000,00 per helai. (setiap)

5.7.    Pemakaian Angka Bilangan

Kesalahan yang sering muncul dalan pemikiran ejaan adalah pemakaian bilangan tingkat. Kalau kita menggunakan angka Romawi, penulisannya tidak menggunakan ke-,. Sebaliknya, kalai kita gunakan angka biasa atau angka Arab, maka angka Arab tersebut disertai dengan awalan ke-. Disamping dua cara di atas, masih ada cara lain yang dapat digunakan, yaitu semua bilangan tingkat itu ditulis dengan huruf (kata).

Contoh :

Salah       
 
Perang Dunia ke II   
Perang Dunia ke dua  
Abad ke XX   
Abad ke 20   
Abad ke dua puluh   

Benar   

Perang Dunia II
Perang Dunia kedua
Abad XX
Abad ke-20
Abad kedua puluh

Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian atu pemaparan. Jadi, kalau dalam kalimat itu terdapat satu bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua angka, bilangan tersebut harus ditulis dengan kata, bukan dengan angka.

Contoh :

a. Amir belajar sampai tiga kali sehari (benar)
   Amir belajar sampai 3 kali sehari (salah)

b. Ibu membeli baju tiga lembar di pasar (benar)
   Ibu membeli baju 3 lembar di pasar (salah)

c.Yang hadir dalam pertemuan itu ada sejumlah empat puluh lima orang, yaitu dua puluh tujuh orang dari kalangan pria dan delapan belas orang dari kalangan wanita. (salah)
  Yang hadir dalam pertemuan itu ada sejumlah 45 orang, yaitu 27 orang dari kalangan pria dan 18 orang dari kalangan wanita. (benar)


Sumber  Buku : "Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi" oleh : Dr. Sitti Rabiah, M.Hum
Penerbit de la macca. Halaman 1-9


Thursday 24 March 2016

KEDUDUKAN,FUNGSI,DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI (MK)

1 comment

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Di dalam Pasal 24 ayat (2) Perubahan ketiga UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh ssebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilam agama,lingkungan  peradilan militer , lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Didalam sistem ketatanegaraan atau pemerintahan yang bersistem pemisahan kekuasaan, harus terdapat mekanisme "check and balances'' dari sesama lembaga negara. MK melakukan pengujian undang-undang, yang berarti terdapat mekanisme penyeimbang  kekuasaan legislatif oleh MK. Pemberian kewenangan kepada MK melakukan pengujian undnag-undang terhadap UUD adalah merupakan pelaksanaan prinsip (ajaran) kedaulatan hukum yang bersumber dari implikasi perubahan Pasal 1 ayat  (2) UUD 1945.

FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI

Dalam pemahaman kita, dengan melihat kontruksi yang digambarkan dalam konstitusi dan diterima secara universal, terutama di negara-negara yang telah mengadopsi lembaga Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan  mereka, MK mempunyai fungsi untuk mengawal ( to Guard ) konstitusi, agar dilaksanakn dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warganegara. MK juga menjadi penafsir akhir konstitusi. ( Baca penjelasan UUD MK ).

WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Pasal 24 C ayat 1 dan 2 menggariskan wewenang MK sebagai berikut :
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presidan dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Wewenang MK tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi RI dengan rincian sebagai berikut:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memeenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undnag-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.


Sumber Bacaan: 

"Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi" Oleh: 
 Prof. Dr. H. Abdul Latif, SH., MH. 
Dr. H. Muhammad Syarif Nuh, SH., MH.
Dr. Hamza Baharuddin, SH., MH.
H. Hasbi Ali, SH., MH.
Said Sampara, SH., MH.

( halaman 15 - 26 )

Monday 21 March 2016

CARA MEMBUAT BUNGA IMUT DARI KAIN FLANEL MUDAH DAN CEPAT

No comments
Assalamu'alaikum... o-genki desu ka minna san? akkaakaka kenapa jadi bahasa Jepang,, kalau begitu como esta?? akkaka kenapa bahasa spanyol ... hehehhe ayo langsung ke topik...

weeeeeeest,, ini pertama kalinya saya memposting hobby saya, ya salah satu hobby saya yaitu membuat sesuatu yang unik-unik dari benda-benda yang tak terpakai,,dan juga dari bahan-bahan untuk membuat seni hehehhe seperti kain flanel..

salah satu contohnya seperti gambar disamping,, :D . Berikut ini tutorial membuatnya : 

ALAT DAN BAHAN : 

1. Kain Flanel;

2. Lem Tembak;

3. Gunting;

4. Tustel ( Tusuk Telinga ) 

 



1. Ambillah kain flanel warna apa saja yang kamu sukai untuk membuat kelopak bunga. ( Saya ambil biru, putih, dan ungu ).







2. Buatlah pola melingkar sebanyak 11 lingkaran seperti yang terlihat di gambar.  Pola dapat di cetak dari benda-benda seperti penutup botol, toples, lakban.dll . Jika anda ingin membat bunga yang lebih besar gunakan pola yang besar, karena ukuran bunga akan sesuai ukuran cetak dari polanya.

( Pola yang saya gunakan yaitu dari penutup bedak )







3. Guntinglah pola-pola yang sudah dibuat seperti yang terlihat di gambar.












4. lipat pola menjadi dua, seperti yang terlihat digambar.











5. kemudian lipat lagi, lihat pada gambar. beri lem agar tidak kembali menjadi bentuk pada cara ke 4.

6. setelah itu, lem lagi pola yang dilipat tadi ke salah satu pola yang disiapkan untuk menjadi penahan mahkota bunga.










7. Lakukan cara 4,5, dan 6 agar membentuk kelopak bunga seperti gambar disamping. ( Anda juga dapat membuat bros, anda sisa menambahkan daun dan juga peniti bros ). Karena ini Tutorial membuat bunga, maka kita akan fokus membuat bunga.







8. Lakukan cara ke 4,5,6  untuk menutupi bagian belakang bunga. bunga akan tampak membentuk seperti bola. jika selesai, ambillah penggorek telinga dan sisipkan dipertengahan diantara kelopak bunga.







9. jika cara ke 8 dilakukan, maka bunga akan tampak seperti gambar disamping. Penggorek telinga akan berfungsi sebagai batang. jika anda ingin batang atau tangkainya besar , maka anda mungkin bisa menggunakan pulpen, pensil yang tidak terpakai, atau kayu-kayu kecil. berimajinasilah untuk menghasilkan  karya sendiri.






10. Ambil kain flanel berwarna hijau tua untuk menutupi penggorek telinga, agar terlihat seperti batang sungguhan seperti yang terlihat digambar. bunga mulai terlihat unik bukan?? (^_^)'







11. Ambillah kain flanel berwarna hujau muda untuk membentuk sebuah daun panjang. jika daun sudah siap, maka tempelkan daun ke tangkai bunga. Jika telah selesai menempelkan dua daun ke masing-masing tangkai, maka siapkan pot untuk bunga. ( pot bunga dapat menggunakan bahan bekas seperti, botol .









SELESAI......


gimana baguskan?? :D :D :D 

Selamat Mencoba dan Semoga Sukses.. ;)

Thursday 17 March 2016

SEJARAH HUBUNGAN PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

No comments
SEJARAH HUBUNGAN PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

Dalam literatur hukum perburuhan yang ada, riwayat hubungan perburuhan di Indonesia diawali dengan suatu masa ynag sangat suram yakni, zaman perbudakan, rodi, dan poenale sanksi ( sanksi poenale ).

Perbudakan adalah suatu peristiwa dimana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan dibawah pimpinan orang lain. Para budak ini tidak mempunyai hak apapun termasuk hak atas kehidupannya. Sebagai contoh peristiwa Sumba tahun 1877, sebanyak 100 orang budak di bunuh karena rajanya meninggal dunia, hal ini dilakukan atas kepercayaan bahwa budak yang dibunuh tersebut akan mengabdi pada tuannya di akhirat.

Terjadi perbudakan di zaman dulu disebabkan karena para raja, pengusaha yang mempunyai ekonomi kuat membutuhkan orang yang dapat mengabdi kepadanya, sementara penduduk miskin yang tidak berkemampuan secara ekonomis saat itu cukup banyak yang disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga   tidak mengherankan perbudakan hidup tumbuh dengan subur.

Perbudakan sebagai bentuk pengerahan tenaga kerja yang tidak manusiawi dan tercela tersebut mulai mendapat perhatian Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa saat itu yakni T.S Raffles yang dikenal anti perbudakan, upaya untuk penghapusan perbudakan saat itu dilakukan engan mendirikan suatu lembaga yang disebut The Java benevolent Institution.

Selain perbudakan dikenal juga istilah penghambaan  dan Peruluran. Perhambaan terjadi bila seorang penerima gadai menyerahkan dirinya sendiri atau orang lain yang ia kuasai, atas pemberian pinjaman sejumlah uang kepada seseorang pemberi gadai. Pemberi gadai mendapat hak untuk meminta dari orang yang digadaikan agar  melakukan pekerjaan untuk dirinya sampai uang pinjamannya lunas. Pekerjaan yang dilakukan bukan untuk mencicil utang pokok tapi untuk kepentingan pembayaran bunga. Sedangkan Peruluran adalah keterikatan seseorang untuk menanam tanaman tertentu pada kebun/ladang dan harus dijual hasilnya kepada kompeni. Selama mengerjakan kebun/ladang tersebut ia dianggap sebagai pemiliknya, sedangkan bila meninggalkannya maka ia kehilangan hak atas kebun tersebut.

Rodi merupakan kerja paksa yang dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak penguasa atau pihak lain dengan tanpa pemberian upah, dilakukan di luar batas perikemanuasaan. Pada kerajaan-kerajaan di Jawa, rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepaala, dan pegawai serta kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan atau sebagainya. Hendrik Willem Daendels (1807-1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat jalan dari Anyer sampai Banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati karenanya tidak terbilang.

Poenale sanksi terjadi karena adanya kebijakan Agrarische Wet tahun 1870 yang berimplikasi pada ketersediaan lahan perkebunan swasta yang sangat besar. Untuk menjamin perusahaan ini mendapatkan buruh yang tetap dapat melakukan pekerjaan maka di dalam Algemenen Politie Strafreglement dicantumkan ketentuan (stb 1870 no. 111) yang menetapkan bahwa buruh yang tiada dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaan dapat di pidana dengan denda antara Rp 16 sampai Rp 25., atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari. Pengenaan hukuman kepada buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan inilah yang disebut dengan “Poenale Sanksi”.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa riwayat timbulnya hubungan perburuhan it dimulai dari peristiwa pahit yakni penindasan dan perlakuan di luar batas berkemampuan secara sosial ekonomi maupun penguasa pada saat itu. Para bidak/pekerja tidak diberikan hak apap pu, yang ia miliki hanyalah kewajiban untuk menaati perintah dari majikan atau tuannya. Nasib para budak/pekerja hanya dijadikan barang atau objek yang kehilangan hak kodratinya sebagai manusia.

Dalam hukum perburuhan dikenal adanya Pancakrida Hukum Perburuhan yang merupakan perjuangan yang harus dicapai yakni :

1.    Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan, perhambaan;
2.    Pembebasan manusia Indonesia dari rodi atau kerja paksa;
3.    Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari Poenale sanksi;
4.    Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaan;
5.    Memberikan posisi yang seimbang antara burh/pekerja dan pengusaha.

Krida satu sampai dengan krida ketiga secara yuridis sudah lenyap berrsamaan dengan dicetusnya proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian yakni 18 Agustus ditetapkannya UUD 1945 yang di dalam pasal 27 ayat (1) memuat jaminan kesamaan warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Sedangkan krida ke empat sampai dengan saat ini setidak-tidaknya dari kajian empiris atau sosiologis belum dapat dicapai. Masih banyak terjadi kasus-kasus Pemutusan hubungan Kerja (PHK) yang disebabkan oleh adanya tuntutan dari pihak buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak-hak normatifnya, berbuntut pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Sedangkan krida kelima yakni memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha merupakan cita hukum (ius constituendum)  dibidang perburuhan yang merupakan yang merupakan tujuan akhir yang akan dicapai.

Untuk mencapai krida keempat yakni membebaskan buruh/pekerja dari takut kehilangan pekerjaan, maupun krida kelima memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yakni :

1.    Pemberdayaan serikat buruh/pekerja khusunya ditingkat unit/perusahaan.

Serikat buruh/pekerja di tingkat unit/perusahaan ini perlu diberdayakan khususnya dengan memberikan pemahaman terhadap aturan perburuhan/ketenagakerjaan yang ada karena organisasi pekerja ini terletak di garis depan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan pihak perusahaan. Salah satu peraturan yang melindungi pekerja yang harus diketahui adalah yang berkaitan dengan PHK. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK, setiap PHK harus dengan mendapat izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) atau berdasarkan UU No. 13 thn 2003 tentang Ketenaga kerjaan harus berdasarkan penetapan dari lembaga penyelesaia perselisihan industrial.

2.    Pemberdayaan Pekerja dan Pengusaha.

Pekerja sebagai anggota serikat pekerja perlu diberdayakan sehingga mengetahui hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum termasuk penyadaran pekerja tentang pentingnya organisasi pekerja sebgai sarana memperjuangkan hak dan kepentingannya, karena itu tidak ada pilihan lain untuk meningkatkan bargaining positionnya kecuali dengan memperkuat organisasi buruh/pekerja.

3.    Penegakan hukum ( law enforcement ).

Penegakkan hukum sangat penting dalam rangka menjamin tercapainya kemanfaatan (doelmatigheid) dari aturan itu. Tanpa penegakkan hukum yang tegas maka aturan normatif tersebut tidak akan berarti, lebih-lebih dalam bidang perburuhan/ketenagakerjaan di mana para pihak yang terlibat di dalamnya terdiri dari dua subjek hukum yang berbeda secara sosial ekonomis.

4.    Secara Normatif

Meninjau kembali beberapa ketentuan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang saat ini masih berlaku yang kurang memberikan perlindungan bagi bekerja khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan perburuhan/ketenagakerjaan. Penyelesaian perselisihan perburuhan melalui institusi Panitia penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) sebagaimana atur dalam UU No. 12 tahun 1964 tentang PHK jo. UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan belum dapat memberikan perlindungan bagi buruh/pekerja. Hal ini karena putusannya yang menggambang merupakan akibat tidak dapat dilakukannya eksekusi secara langsung dan masih memungkinkan untuk digugat lagi ke Peradilan Tata Usha Negara karena dikategorikan sebagai banding administratif ( penjelasan pasal 48 ayat 1 UU No. 5 thn 1986 ttg Peradilan Tata Usaha Negara). Sehingga prosedur yang harus dilewati dalam penyelesaian sengketa perburuhan/ ketenagakerjaan ini tidak dapat memenuhi harapan sesuai dengan asas peradilan cepat, mudah, dan biaya ringan.

Upaya untuk mengganti perundang-undangan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat di bidang ketenagakerjaan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1998 dan melibatkan berbagai komponen termasuk organisasi pekerja, pengusaha, LSM, dan para pakar yang melahirkan dua rancangan undnag-undang yakni RUU pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK) dan RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Kedua RUU ini sudah mendapat pembahasan di DPR. Dari hasil pembahsan tersebut hanya RUU pembinaan dari Perlindungan Ketenagakerjaan yang sudah berhasil dirampungkan pembahasannya atau telah diundangkan melalui UU No. 13 thn 2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan RUU PPHI mengalami hambatan karena penolakan dari kalangan pekerja dan pengusaha. 

Dalam RUU tersebut setidaknya dapat dicatat 4 hal penting yang sebelumnya tidak diatur yakni :

1.    Adanya pengaturan yang jelas mengenai batas waktu penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi yakni paling lama 40 hari.

2.    Tidak memungkinkan adanya campur tangan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan karena adanya pengaturan mengenai penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan para pihak melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi.

3.    Memungkinkan setiap pekerja untuk menjadi para pihak dalam penyelesaian perselisihan, hal ini sejalan dengan UU No. 21 thn 2001 mengenai organisasi pekerja/buruh yang didalamnya mengatur mengenai hak untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja.

4.    Lebih menjamin rasa keadian bagi pekerja maupun pengusaha karena penyelesaian yang ditawarkan dapat dilakukan melalui jalur nonlitigasi maupun litigasi, dengan demikian memungkinkan para pihak untuk memilih jalur penyelesaian sesuai dengan yang diinginkannya.

SUMBER BACAAN :

 “Pengantar Hukum Ketenagakerjaan indonesia Edisi Revisi” Oleh Lalu Husni, SH., M.Hum. halaman 1-10.

SEJARAH PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

No comments
SEJARAH PERKEMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

1.1    Sejarah Perkembangan Mahkamah Konstitusi 

 Terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga pelaksana  kekuasaa kehakiman di samping Mahkamah Agung yang mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara modern (modern state ) , yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review , yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat (AS) oleh Mahkamah Agung (MA), dapat dilihat sebagai perkembangan yang berlngsung selama 250 tahun, dengan rasa kebencian sampai dengan penerimaan yang luas. [1]

Dalam tradisi common law dan sistem konstitusi AS, Lembaga Mahkamah Konstitusi yang tersendiri tidak dikenal, tapi fungsinya langsung ditangani oleh MA yang disebut the Guardian of American Constitution . Di Eropa Kontinental yang disebut demikian itu adalah Mahkamah Konstitusi. Di negara-negara komunis dan negara lain yang menagnut istem supremasi parlemen, MK juga tidak dikenal. Dalam sistem komunis ataupun tradisi Inggris dan Belanda yang menganut dokrin ‘’king or queen in psrliament’’. [2]

    Revolusi Perancis dan konsep Separation of Power dari Rosseau dan Montesqieu merupakan cikal bakal pengembangan judicial review kedepan, dan keberhasilan awal pemerintahan Napoleon serta pengaruh yang berkelanjutan dari hukum dan budaya Perancis, membawa sikap dan pendekatan ini menyebar ke seluruh Eropa dengan sistem hukumnya yang berbeda. [3]

Akan tetapi, pemikiran Amerika tentang judicial review setelah kasus Marbury vs Madison tahun 1803 dan kemudian kasus Dred Scott yang terkenal buruknya tahun 1857, menyebabkan pembaharuan di benua Eropa mulai berfikir bahwa Mahkamah semacam itu mungkin berguna juga di Eropa. Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20, diminta untuk menyusun sebuah Konstitusi bagi sebuah Republik Austria yang baru muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya, bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi) dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian. Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakkan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan UUD. Meski Kelsen merancang model ini untuk  Austria. Yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama sekali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari Tahun 1920. Baru pada bulan oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria. [4]

    Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan judicial review menyebar keseluruhan Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Counstitutional Council ( Councseil Counstitutionel ). [5] Ketika Uni Soviet runtuh, bekas negara-negara komunis di Etopa Timur semuanya mereformasi negerinya, dari negara otoriter menjadi negara demokrasi konstitusional yang liberal. Konstitusional yang liberal. Konstitusi segera direvisi dan dalam proses itu satu lembaga baru bentuk, yaitu satu Mahkamah yang terdiri dari pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman dengan kewenangan untuk membatalkan undang-undang dan perturan lain jika ternyata ditemukan bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum yang lebih tinggi yaitu konstitusi. Sampai sekarang sudah 78 Negara yang mengadopsi sistem Mahkamah Konstitusi yang didirikan terpisah dari Mahkamah Agung.

1.2    Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia

Bagi negara Indonesia, MK sebagai lembaga negara dan pelaksana kekusasaan kehakiman memang dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Namun sebagai sebuah gagasan, MK bukanlah sesuatu yang baru, karena fungsi pengujian dan penafsiran konstitusi sebagai gagasan sudah lama ada menjelang Indonesia merdeka. Dilihat dari niat para penyusun UUD, legitimasi pengujian undang-undang ( constitutional review ) penting pula untuk dibahas. [6] Pentingnya isu ini karena sejarah penyusunan UUD 1945 masa lalu ketika dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung tepatnya pada tanggal 15 Juli 1945. Jadi awal mula idenya muncul sejak usul Yamin dalam Sidang BPUPKI tersebut, agar MA diberi kewenangan membanding undang-undang, tetapi ditolak Seopomo dengan alasan UUD 1945 tidak dianut ajaran trias politica dari Montesquieu. Yamin (1959 : hal 61) mengusulkan dengan menyatakan bahwa : [7]

    Agar Balai Agung ( istilah yang digunakan Yamin untuk menyebut Mahkamah Agung tidak hanya melaksanakan bagian kekuasaan Kehamkiman, melainkan juga menjadi badan yang membanding (maksud menguji) apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak melanggar Undang-Undang Dasar Republik atau bertentangan dengan syariah agama Islam. Pendapat Yamin kemudian ditanggapi oleh Soepomo yang pada intinya tidak menyetujui kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD diberikan kepada MA, melainkan diberikan kepada peradilan khusus (pengadilan special ) yang namanya Constitutioneelhof, suatu pengadilan spesifik semacam di Austria, Cekoslowakia dan Jerman.

    Soepomo tidak menyetujui kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD diberikan kepada MA. Karena,selain alasan bahwa pengujian undang-undang terhadap UUD hanya dikenal dalam suatu sistem pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas, juga karena konsepsi UUD ini ( maksudnya UUD 1945 yang sudah disepakati ) tidak memakai sistem yang membedakan secara prinsipil antara tiga badan atau lembaga negara itu, artinya tidaklah kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang. Tegasnya yang dianut UUD 1945 adalah pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan menurut teori atau dokrin Trias Politika yang dikembangkan oleh Montesqueieu di negara-negara Eropa Barat. [8]

    Selain itu, UUD 1945 sebelum amandemen tidak dapat menerapkan fungsi pengujian undang-undang karena menganut prinsip supremasi parlemen dengan menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.Sistem demikian itu, produk lembaga legislatif tidak boleh diuji oleh cabang kekuasaan lain. Menguji undang-undang hasil produksi legislatif bersama eksekutif, sama halnya mencampuri kekuasaan legislatif dan eksekutif. Oleh karena itu, untuk menjaga kemurnian teori atau dokrin Trias Politika, undnag-undang tidak dapat diganggu sebagaimana yang berlaku di negeri Belanda, maka Mahkamah Agung tidak diperkenankan menguji undang-undang. Dikembangkan pula dokrin bahwaproduk peraturan perundang-undnagan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga yang membuatnya sendiri. Dengan kata lain, pengujian undang-undang hanya boleh dilakukanoleh kekuasaan eksekutif dan legislatif (DPR bersama-sama Presiden).

    Dilihat dari sejarah pembentukannya, apakah MK berdiri sendiri disamping MA. Semula diusulkan MK di tempatkan dalam lingkup MA, jadi merupakan bagian dari MA. Usul tersebut dirumuskan dalam Pasal 25B Rancangan Perubahan Kedua UUD 1945, tetapi tidak sempat dibahas dalam Sidang Tahunan MPR ( risalah sidang MPR tahun 2000). Usul tersebut baru dibahas dalam sidang Panitia Ad Hoc I ( PAH I BP) pada september 2001 dan mengalami perubahan dengan mengadopsi usu; yang disampaikan oleh Tim Ahli PAH I BP-MPR, yaitu menempatkan MK di luar lingkungan MA.

    Jadi MK berdiri sendiri, MK dan MA sama-sama menjalankan kekuasaan kehakiman, hanya wewenangnya yang berbeda satu sama lain, sebagaimana tampak dlaam rumusan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang selengkapnya ditegaskan bahwa:

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkup peradilan umumm,lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

    Berdasarkan uraian dan sejarah pembentukan MK tersebut diatas, dalam pengamatan terhadap sekurang-kurangnya tiga hal ataupun pemikiran yang melatarbelakangi pembentukan UUD 1045, yaitu : Pertama, ada kekosongan hukum atau tepatnya kekosongan peraturan perundang-undnagan yang berkenaan dengan pengujian (review) undnag-undang terhadap UUD. Kedua, kekosongan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan kemungkinan timbulnya konflik kewenangan di antara lembaga negara yang ada. Ketiga, berkenaan dengan alasan yang menjadi dasar pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya.

    Diundnagkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2005 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003, yang berlaku secara operasional sejak ditetapkan pengkatan 9 Hakim Konstitusi dengan Keputusan Presiden pada tanggal 15 Agustus 2003 dan pengucapan pada tanggal 16 Agustus 2003. Sebab rekrutmen para hakim mesti dilakukan menurut UU yang baru mendapat persetujuan  bersama DPR RI pada tanggal 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada tanggal 15 Agustus 2003. Kemudian pada  tanggal 18 agustus 2003 Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh anggota tertua, Achmad Roestandi memilih ketua dan wakil dan yang terpilih sekali putaran adalah Prof. Dr. Jumly Asshiddiqie sebagai ketua, sedang Prof. Dr. H.M Laica Marzuki, SH., yang tidak hadir karena sakit melalui tiga kali puturan terpilih jadi Wakil Ketua MK.

1.3    Ruang Lingkup, Pengertian dan Peristilahan

Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun mekanisme ‘ judicial review’ yang terus berkembanng dalam praktik di berbagai negara demokrasi, pada umumnya, sodambut sangat antusias, baik di dunia akademis maupun praktik, bahkan tidak kurang oleh lingkup cabang kekuasaan kehakiman sendiri ( judiciary ) . Seperti dikemukakan oleh Jimly Assiddiqie, [9] pada umumnya, makanisme pengjian hkum ini diterima sebagai cara negara hukum modern mengendalikan dan mengimbangi ( chek and balances ) kecenderungan kekuasaan yang ada digenggaman para pejabat pemerintahan untuk mnjadi sewenang-wenang.

    Namun, sebelum mambahas soal itu lebih lanjut, kita perlu perjelas dulu peristilahan yang dipakai disini, yaitu ‘’ constitutional review ‘’ atau pengujian konstitusional, yang harus dibedakan dari istilah “judicial review” . Perbedaan itu dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie dengan dua alasan. Pertama, ‘’ constitutional review ‘’ selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakin atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan utnuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial review” terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan dibawah UU terhadap UU, sedangkan , ‘’ constitutional review ‘’ hanya menyangkut oengujian konstitutionalitasnya, yaitu terhadap UUD. [10]

    Di Indonesia, kewenangan pengujian itu dapat diberikan kepada lambaga Mahkamah yang tersendiri bernama MK disamping MA, tetapi dapat pula oleh MA seperti di Amerika Serikat atau lembaga-lembaga khusus lainnya. Lembaga-lembaga dimaksud tidak selalu merupakan lembaga peradilan, seperti dalam sistem Perancis, disebut “ Conseil Constitutionnel”  yang memang bukan “ Court” atau Peradilan sebgai lembaga hukum , melainkan Dewan Konstitusi yang mrupakan lembaga politik. Jika dipakai istilah ‘ judicial review ‘  , maka dngan sendirinya berarti bahwa lembaga ‘judicial’ (judiciary). Namun, dalam konsepsi ‘Judicial review’ cakupan pengertiannya sangat luas, tidak saj menyangkut segi-segi konstitusionalitas objek yang diuji, melainkan menyangkut pula segi-segi legalitasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawah UUD.

    Berdasarkan uraian diatas hendaknya harus dapat dibedakan dan tidak salah kapra menggunakan istilah-istilah “toestsingsrecht” dan judicial review.


SUMBER BACAAN :  ‘’ Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Oleh Prof. Dr. H. Abdul Latif,SH., MH. DKK. Halaman 1-12.  Penerbit Total Media.

[1] Maruari Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Pres, 2005, Jakarta, hal. 5

[2] Jimly Assiddiqie, dkk,  Menjaga Denyut Konstitusi ( Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi), Jakarta, 2004. Halm 4-7.

[3] Herman Schwartz dalam Maruarar Siahaan, The Struggle For Constitutional Justice in Post-Communist Europe, 2002 hal. 13.

[4] Herman Schwartz, Ibid, Hal 18.

[5] Jimly Assiddiqie,Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstisi, Komplikasi Ketentuan Konstitusi, Undang-undang dan Peraturan di 78 Negara, 2005 , hal 3.

[6] Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, 2007, Yogyakarta, hlm 7-9.

[7] Muh. Yamin dalam Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranag Hukum,2005, Jakarta, hlm 82.

[8] Jimly Assiddiqie, 2004, opcit, hlmn 5-9.

[9] Jimly Assiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusi Di Berbagai Negara, 2005, Konstitusi Press, Jakarta halaman 2-3.

[10] Jimly Assiddiqie, Ibid, hal. 3.

Tuesday 8 March 2016

MATERI KULIAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERSAINGAN

5 comments
SAP ( SATUAN AJAR PEMBELAJARAN )

1. Lahirnya Hukum Perlindungan Konsumen (PK).
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen.
3. Pengertian Konsumen dan Produsen.
4. Perkembangan Perlindungan Konsumen.
5.  Hubungan Hukum Antara Konsumen dan Produsen.
6. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen.
7. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen.
8. Lembaga Konsumen.
9. Tanggung jawab Pelaku Usaha.
10. Klausul Baku.
11. Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan.
12. Pembuktian Terbalik.
13. Sanksi Terhadap Pelaku Usaha yang Melanggar Hukum.

1. LAHIRNYA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN (PK)
              
  Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hukum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat. Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenarnya masih pararel dengan gerakan-gerakan pertengahan abad ke-20. Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jelas terjadi perluasanruanggerakarustransaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun yang berasal dari luar negeri.

               Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsive terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen. Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga KonsumenIndonesia(YBLKI)diBandung dan beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena lembaga ini tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.

         YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu ciri pada masa ini adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti penting adanya Undang-undang Perlindungan Konsumen.

 Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu yang pertama adalah hasil kerjasama dengan fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan yang kedua adalah hasil kerjasama dengan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.Tetapi hasilnya sama saja, kedua naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak dibahas di DPR.

             Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan, tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dibentuk. Keberadaan Undang-undang Perlindunga Konsumen merupakansimbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat, sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi. 

          Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan konsumen tetepi materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan akibatperilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu diatur agar tidak merugikan konsumen. 

          Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution berpendapat bahwa ,”Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen”. Sedangkan “Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.

          Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telag dijalankan berbagai pihak yang berkaitn dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, bersama-sama dengan perguruan-perguruan tinggi yang merasa terpanggil untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen).
Kegiatan yang dibahas dalam acara pertemuan tersebut ,yakni:

a. pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh Bakir Hasan dan dari sudut hukum ooleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975) sampai dengan penyelesaian akhir Undang-Undang ini pada tanggal20April1999.

b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).

c. BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).

d. Yayasan Lwmbaga Konsumen Indonesia, Perlindunga Konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen(tahun1981).

e. Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).

f. DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindunga Konsumen (tahun1998).

2. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 menjelakan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

 1. Asas manfaat 

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

 2.  Asas keadilan 

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

  3.  Asas keseimbangan 

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen 

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

  5.  Asas kepastian hukum 

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

3. PENGERTIAN KONSUMEN DAN PRODUSEN
 
Pengertian Konsumen :

Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Anda tentu memahami bahwa tidak semua barang setelah melalui proses produksi akan langsung sampai ke tangan pengguna. Terjadi beberapa kali pengalihan agar suatu barang dapat tiba di tangan konsumen. Biasanya jalur yang dilalui oleh suatu barang adalah:

Produsen – Distributor – Agen – Pengecer – Pengguna

Lebih lanjut, di ilmu ekonomi ada dua jenis konumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.

Yang dimaksud di dalam UU PK sebagai konsumen adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.

Pengertian Produsen

Produsen adalah setiap orang yang menciptakan atau membuat suatu barang ataupun  jasa  untuk dijual kembali sehingga memperoleh keuntungan.

4. PERKEMBANAGN PERLINDUNGAN  KONSUMEN

TAHUN 1962  Presiden Amerika Jhon F. Kennedy, menyampaikan pesan dalam Konggres bahwa ada : 2/3 uang yg dipergunakan  dalam kehidupan ekonomi berasal dari konsumen, disisi lain konsumen banyak dirugikan karena suatu produk barang/ jasa yang kosumsinya , jarang mendapat kompensasi secara layak , hal tsb memuat ketidakseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha bila dikatkan dengan “ hak dan kewajiban “ masing-masing yang timpang .

Maka untuk perhatian masalah ini : sidang umum PBB , pada sidang ke ; 106 tangal 9 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen (resolusi 39/248) telah menegaskan 6 kepentingan konsumen yaitu :

-    Perlindungan terhadap bahaya kesehatan & keamanan

-    Promosi & perlindungan kepentingan konsumen

-    Informasi yang cukup terhadap produk

-    Pendidikan konsumen

-    Cara-cara ganti rugi yang efektif

-    Kebebasan membentuk organisasi konsumen

The Economic Law and Improved System Project (ELIPS), yang mengemukan 9 materi rumusan hukum perlindungan konsumen;


-    Ketidakteraan dalam posisi tawar menawar

-    Kebebasan berkontrak

-    Persyarata untuk memberi informasi

-    Perilaku penjual yang salah dalam perdagangan

-    Peraturan mutu produk, garansi, keamanan

-    Akses terhadap kredit

-    Batas mengakiri jaminan

-    Harga

-    pembetulan

Sebelum berlakunya UUPK ada beberapa Per-UU-an yang berlaku :

- KUHPerdata/BW, KUHDagang, dlm UU tidak mengenal istilah konsumen tetapi : pembeli, penyewa, teranggung, penumpang, dan tidak membedakan apa konsumen akhir atau antara

- UU No. 10 tahun 1961 : Pengganti UU No. 1 tahun 1961 tentang Barang yang diperdagangkan di Indonesia .

-  UU No. 9 tahun 1964 tentang Standar Industri untuk meningkatkan mutu dan hasil industri di Indonesia.

- Kemenperindag no. 81/M/K/SK/2/1974 tentang pengesahan standar cara-cara analisis dan syarat-syarat mutu bahan baku dan hasil industri .

Kegiatan-kegiatan, seminar-seminar yang pernah dilakukan dalam Perlindungan Konsumen  :

-    Seminar pusat studi dagang  UI tentang perlindungan konsumen 16 desember 1975.

-    BPHN, Kemenham, penelitian tentang Perlindungan Konsumen , proyek 1979 – 1980.

-    BPHN-Kemenham, naskah akademis Peraturan Perlindungjan Konsumen , proyek 1980-1981.

-    YLKI, sumbangan pemikiran tentang rancangan UUPK tahun 1981.

-    Kemenperindag dengan FH.UI, tentaag rancangan UUPK 1997.

-    DPR.RI , rancangan usul inisiatif DPR tentang UUPK tahun 1998 .

5. HUBUNGAN HUKUM ANTARA KONSUMEN DAN PRODUSEN

POLA SALURAN DISTRIBUSI

Umumnya produk sampai ke konsumen melalui tahap yang panjang mulai dari : produsen pembuat (pabrik),distributor, pengecer, hingga konsumen;

Semua pihak  yg terkait dlm pembuatan suatu produk sampai ke konsumen  disebut “ produsen “

Pola distribusi yang dikenal dalam Ilmu manajement dapat digambarkan :

1. Produsen  - konsumen;

2. Produsen- pengecer- konsumen;

3. Produsen- pedagang besar –pengecer-  konsumen;

4. Produsen – agen- pedagang besar- pengecer- konsumen;

5. Produsen- agen- pengecer- konsumen

2 (dua) golongan konsumen , dilihat dari cara  memperoleh produk :

1. Konsumen yang memperoleh produk dengan cara membeli ke produsen, yang berarti konsumen terikat hubungan kontraktual (perjanjian ), misal : jual beli, sewa menyewa, perjanjian kredit;

2. Konsumen yang tidak membeli, tapi memperoleh dengan cara lain, yang berarti konsumen tidak terikat hubungan kontraktual (perjanjian )

Pembedaan ini penting krn untuk mengetahui hak dan kewajiban  hukum para pihak sekaligus untuk menentukan pertanggungjawabkan hukumnya, sebab pertanggungjawaban lahir dari hubungan hukum;

Konsumen yg memiliki kontraktual dapat dilindungi kepentingannya berdasar isi kontrak tetapi tidak demikian konsumen yg tidak terikat kontraktual dg produsen

Tahap transaksi antara produsen dan konsumen

1. Tahap Pratransaksi 

Tahap sebelum adanya perjanjian konsumen yaitu peristiwa yg terjadi sebelum konsumen memutuskan membeli/memakai peroduk
Konsumen berhak untuk mengetahui : harga, komposisi, kegunaan,keunggulan, dibanding produklain baik dari produsen, brosur, iklan, dll
Meski belum masuk tahap transaksi, tahap ini penting krn dpt mempengaruhi keabsahan dari tahapan transaksi berikutnya

2. Tahap transaksi ( yang sesungguhnya )

Setelah mendapat informasi yang cukup konsumen mengambil keputusan membeli atau tidak, menentukan pilihannya, dan pada saat inilah lahirlah “ perjanjian “, kesepakatan lahir karena penawaran timbulah  pernyataan kehendak.

Dasar hukum Pasal 1320 KUHPerdatan

Dlm tahap ini konsumen dibiasakan menerima tanda bukti pembelian berupa secarik kertas mengenai barang dan harganya, hal tersebut sebagai bukti  apabila ada perselisihan dikemudian hari.

3. Tahap purna transaksi:

Transaksi yg dibuat antara pembeli dan penjual tentunya masih harus direalisasikan  yaitu dilakukan pemenuhan hak dan kewajiban  antara keduanya  sesuai dg isi perjanjian, misal : kompensasi kalau produk cacat, garansi, hak-hak konsumen, kegunaan produk, dll

Hal yang potensia melahirkan konflik yaitu: 


1. Produk tidak cocok dg kegunaan/manfaat yg diharapkan konsumen atau mengandung cacat tersembunyi;

2. Produk menimbulkan gangguan kesehatan, keamanan, dan keselamatan konsumen;

3. Kualitas produk tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan biasanya timbul karena faktor monopoli atau pemalsuan produk.

6. HAK DAN  KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PRODUSEN

a. Hak konsumen

Secara umum dan telah diakui oleh organisasi Internasional ada empat hak dasar konsumen, yaitu :

    1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

    2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

    3. Hak untuk memilih (the right to choose);

    4. Hak untuk di dengar (the right to be heard).

Sedangkan dalam pasal 4 UUPK ada 9 (sembilan), yaitu :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ jasa.

2. Hak untuk memilih barang dan/ jasa serta mendapatkan barang dan/ jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3.  Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa.

4.  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ jasa yang digunakann.

5. Hak untuk mendpaatkan advokasi, perlindunga, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

7.  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

8.  Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/ penggantian, jika barang dan/ jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.

Kewajiaban dari konsumen ; 

1. Membaca, petunjuk & prosedur pemakaian;

2. Beritikat baik dalam transaksi;

3. Membayar sesuai nilai tukar;

4. Mengikuti penyelesain sengketa perlindungan konsumen;

5. Meskin hak dan kewajiban konsumen ini telah disebut kan dengan jelas tetapi kenyataaanya konsumen masih bayak yang belum mengetahui tentang hak dan kewajibannya;

6. Mengikuti uapaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

7. Biasa konsumen menyampaikan keluhan pada produsen, dan jika gagal biasanya menghentikan proses tersebut,, sangat jarang konsumen menuntu secara hukum.

b. Kedudukan konsumen
1. Let the buyer beware (ceveat emptor)

asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen.

2. The due care theory

pelaku usaha mempunya kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa selama berhati-hati dengan produknya ia tak dapat dipersalahkan dan tidak dapat menyalahkan pelaku usaha. Seperti yang tercantu dalam pasal 1865 BW bahwa seseorang yang mendalilkan sesuatu diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

 3. The privity of contract

 pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual.

c.  Hak-Hak Produsen 

1. Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi, cara, dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan dengan konsumen;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beretikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4. Hak untuk rehabilitasi nama baim apabila terbukti secra hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barnag atau jasa yang diperdagangakan.

   d. Tanggung Jawab Produsen

Produsen bertanggung jawab member ganti rugi kepada konsumen apabila didalam proses transaksi jual beli, konsumen tidak mengetahiu adanya perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh produsen atau barang dan jasa tersebut tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi yang semestinya.

  e.  Kewajiban Produsen
1. Beretikad baik dalam kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberikan penjelasan, penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

3.  Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu dan jasa yang berlaku;

 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang dan jasa yang dibuat atau diperdagangkan;

 6. Memberi kompensasi, ganti rugi, atau pengganti atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan;

  7. Memberi kompensasi ganti rugi atau penggunaan bila barang atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuia dengan perjanjian.

7. RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pengertian Perlindungan Konsumen termaktub dlm Pasal 1 angka 1 UUPK : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindngan kpd konsumen

Dengan cara : meningkatkan harkat & martabat konsumen , membuka akses informasi barang/jasa  & menumbuhkan sikap pelaku usaha yang jujur & bertanggung jawab

Tujuan yg ingin dicapai dlm perlindungan konsumen ada 3 :

1. Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang/jasa & menuntu hak-haknya;

2. Menciptakpkan sistim perindungan konsumen yang mengandung kepastian hukum, keterbukaan informasi, & akses untuk mendapatkan informasi;

3. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha pentingnya perlindungan konsumen  sehingga tumbuh sika jujur dan bertanggung jawab


 8. LEMBAGA KONSUMEN


PASAL 44 UUPK
- Pemerintah mengakui LPKSM (lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat), yang mememenuhi syarat.

- LPKSM memiliki kesempatan berperan aktif dalam perlindungan konsumen;

- Tugas LPKSM : menyebar informasi barang/jasa, meningkatkan kesadaran, kehati-hatian, nasihat, bekerja sama dg isntansi terkait, menerima keluan/pengaduan, pengawasan bersama pemerintah dlm perlindungan konsumen.

LPKSM


a. Lembaga non pemerintah, bersifat independent, harus didaftarkan dan mendapat pengakuan pemerintah dan tugas-tugas diatur  oleh peraturan pemerintah, memberi kesan lembaga “ plat merah“;
 
b. Timbul kesan LPKSM ini lembaga “ plat merah “  diatur oleh PP No. 59 tahun 2001 tentang LPKSM;

c. Terdaftar di Kabupaten/Kota.

LPKSM : 


Merupakan lembaga arus bahwa yang kuat dan tersosialisasi secara luas di masyarakat dan representatif menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen dan sebelum ada aturannya di perankan oleh “ YLKI : yayasan lembaga konsumen Indonesia;

BPKN  : Badan Perlindungan Konsumen Nasional  diatur PP no. 57 tahun 2001, berkedudukan di Jakarta, bertanggung jawab pada Presiden & bisa dibentuk perwakilan di tiap provinsi, merupakan bentuk perlindungan konsumen arus atas (top-down), sedang LPKSM (bottom –up)

Tugas BPKN : 


Memberi saran & rekomendasi pada pemerintah terhadap kebijakkan , penelitian terhadap kebijakkan, penelitian terhadap barang/jasa, mendorong berkembang lembaga perlindungan konsumen, menyebarkan informasi melalui media,pengaduan, survey kebutuhan konsumen.

9. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Pasal 19 UUPK

a. tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran akibat kosumsi barang /jasa .

b. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang/penggantian barang sejenis/perawatan kesehatan &/ pemberian santunan;

c. Ganti rugi dilaksanakan 7 hari setelah transaksi dan tidak menghapuskan tuntutan pidana dan tidak berlaku apabila pelaku usaha dpt membuktikan sebaliknya.

Pasal 19 UUPK ini thd bentuk penggantian kurang  memberikan keadilan bagi konsumen, utamanya kalau konsumen menderita kerugian berupan sakit atau kematian, seharusnya dapat diberikan sekaligus kpd konsumen baik harga barang, perawatan dan santunan serta , tenggang waktu penggantian bukan 7 hari setelah transaksi tetapi 7 hari setelah menderita kerugian .

Tanggung jawab produk (product liabiity)

Menurut Agnes M. Toar :  sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawahnya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebur.

Tanggung jawab disini akibat hubungan kontraktual/perjanjian;

a. Produk cacat menurut BPHN : setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karn ksengajaan, peredaranya;

b. Tanggung jawab mutlak (strict liability); tanggung jaab pelaku usaha tanpa melihat apa ada unsur kesalah dari pelaku usaha atau tidak , tetap mendapat ganti rugi ( di Amerika Serikat ).

Produk liability  terkait dengan ;

- Dalam pembuatan sebuat produk , proses produksi dari pelaku usaha;

- Promosi niaga/iklan produk dari pelaku usaha;

- Praktik perdagangan /pemasaran  yang tidak jujur .

10. KLAUSULA BAKU, PERJANJIAN STANDAR / PERJANJIAN BAKU

Perjanjian baku di Indonesia sendiri sudah merambah ke berbagai sektor  dg cara yg secara yuridis masih kontroversial.

Menurut Darius Badrulzaman : perjanjian baku adalah : perjanjian yg diteatpkan sepihak oleh produsen/ penyalur produk dan mengandung kettentuan yg berlaku umum, sehingga pihak konsumen hanya memilki 2 pilihan, yakni menyetujui / menolak.

Dalam perjanjian baku biasanya terkandung klausul eksonerasi (exemption clausul) yakni klausul yg mengandung kondisi membatasi bahkan memhapus sama sekali tanggung jawab yg semestinya dibebankan pd produsen.

Pasal 1 angka 10 UUPK

- Klausula baku adalah setia aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen;

- Perjanjian baku memang lahir dr kebutuhan masyarakat, supaya tidak merugikan penggunaanya memelukan pengawasan  .

Pasal 18 UUPK, sejumlah larangan penggunaan klausula baku sbb :

- Menyatakan penggalian tanggung jawab pelaku usaha

- Pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yg sudah dibeli

- Pemberian kuasa dr konsumen ke pelaku usaha segala tindakan sepihak berkaitan dg barang dibeli secara angsuran

- Memberi hak kpd pelaku usaha untuk mengurangi manfaat dr barang yg dibeli

- Tunduknya konsumen pada aturan baru, tambahan, lanjutan yg dibuat sepihak oleh pelaku usaha dlm massa konsumen memanfaatkan barang yg dibeli

- Dilarang meletakkan klausula baku yg letaknya sulit dibaca & dimengerti

- Ketentuan diatas bila dilakukan “ batal demi hukum “.

11. PENYELESAIAN SENGKETA DILUAR PENGADILAN

Gugatan atas pelanggaran hak konsumen

Pasal 45 UUPK : konsumen yang dirugikan bisa menggugat melalui lembaga BPSK dan PN

Ada 4 kelompok penggugat : 

- Seorang konsumen / ahli warinya ;

- Kelompok konsumen yg mempunyai kepentingan sama;

- LPKSM;

- Pemerintah.

Bentuk penyelesaian sengketa konsumen

Melalui pengadilan : mengacu pada ketentuan peradilan umum yg berlaku di Indonesia 

Diluar pengadilan : melalui lembaga BPSK : badan penyelesaian sengketa konsumen

Dasar hukum Pasal 45 ayat 1 

Penyelesaian diluar pengadilan , tidak menghilangkan tanggung jawab pidana

Apabila dipilih “ diluar pengadilan “ , gugatan ke pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya dinyatakan tidak berhasil oleh para pihak yg bersengketa

Penyelesaian diluar pengadilan

Melalui perantara BPSK,  sangat murah, cepat dan tidak berbelit2, datang ke BPSK propinsi, dengang membawa : surat permohonan penyesaian sengketa, formulir pengaduan, berkas (dokumen pendukung ), ktp, dll

BPSK mengundang pihak-pihak yg bersengketa : konsumen, pelaku usaha 

Ada 3 cara penyelesaian : konsiliasi, mediasi dan arbitrase  : 

Kemenperindag no. 350/MPP/Kep/12/2001 )

Konsiliasi : proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui perantara BPSK, mempertemukan pihak bersengketa & penyelesaian diserahkan pera ihak yg bersengketa, dg didampingi majelis yg bertindak secara pasif sbg konsiliator .

Mediasi  : sama dg diatas tetapi majelisnya bersikap aktif sbg mediator .

Arbitrase : proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan yg diserhkan sepenuhnya  penyelesaian kepada BPSK (aktif).

Jangka waktu penyelesaian sengketa


Dibuat perjanjian tertulis oleh para pihak , diperkuat oleh BPSK, diselesaikan dlm waktu 21 hari sejak permohonan, apabila keputusan belum dpt diterima , dpt mengajukan ke PN dlm waktu 14 hari sejak diberikan putusan oleh BPSK.

PN wajib menyelesaian dlm waktu 21 hari , dan apabila belum puas , dapat ke PT dan wajib diselesaian dlm waktu 30 hari .

Tata cara permohonan penyelesaian sengketa

Konsumen merasa hak2nya dirugikan bisa mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen ke sekretariat BPSK , pelaku usaha juga bisa menlakukan hal  sama.

Permohona secara tertulis / lisan, bisa diajukan oleh ahli warisnya dengan : nama  & alamat konsumen, nama & alamat pelaku usaha, rincian barang/jasa diadukan, bukti bon/kwitansi, keterangang tempat, waktu, tanggal barang diperoleh, saksi , foto2 & kegiatan pelaksanaan

BPSK : badan penyelesaian sengketa konsumen

Pasal 1 ayat 12 UUPK , BPSK adl badan  yg bertugas menangani dan menyelesaiakan sengketa atr konsumen & pelaku usaha, memberikan konsultasi perlindngan konsumen,

Berada di kabupaten, dibentuk gubenur masing2 propinsi & diresmikan oleh Kemenperindag

Anggota BPSK : unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha

Dlm menaganggani sengketa dibentuk majelis, jumlah majelis ganjil, sedikitnya 3 orang

Pasal 54 ayat 3 UUPK : putusan mejelis BPSK final & mengikat : kata final diartikan tidak ada upaya banding & kasasi, tetapi mengandung kerancuan krn masih bisa mengajukan keberatan, kata mengikat : ditafsirkan harus dijalankan ,

Dalam kacamata peradilan Indonesia , putusan BPSK bersifat nonlitigasi, ada yg keberatan maka dapat mengajukan ke  Pengadilan Negeri

12. PEMBUKTIAN TERBALIK

Prinsip perlindungan konsumen  berdasar UU No. 8 tahun 1999 : dengan memberlakukan beban pembalikan beban pembuktian  sbg dasar tanggung gugat produk

Berdasar prinsip ini : konsumen sbg penguggat tidak dibebani kewajiban pembuktian, pelaku usaha  sebagai tergugat harus membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen bukan krn kesalahanya & apabila dapat membuktikan  maka pelaku usaha terbebas dr tanggung jawab

UUPK tidak memberlakukan tanggung jawab mutlak seperti di Amerika Serikat, tetapi : UU no. 23 tahun 1997 tentang lingkungan hidup  ( memberlakukan tanggung jawab mutlak /strick liability )

Dengan beban pembuktian terbalik : dlm praktiknya pelaku usaha selalu dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, 

Sebaiknya prinsip perlindungan konsumen ini berlaku prinsip tanggung jawab mutlak seperti negara2 lain : dengan alasan pelaku usaha adl orang yang paling mengetahui produk itu dibuat dan dipasarkan selayaknya  dia yg menanggung segala kerugian dari konsumen tanpa melihat siapa yg bersalah , dan pelaku usaha dapat men” ansuransikan  “ produk nya ( re asuransi ).

13. SANKSI TERHADAP PELAKU USAHA YANG MELANGGAR

Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 yaitu :

a. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

b. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan pemberian ganti rugi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

c. Pelaku usaha periklanan yang tidak bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

d. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurangkurangnya 1 (satu) tahun yang tidak menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.

e. Pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :

(a). tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;

(b). tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
f. Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa tidak memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Sanksi Pidana berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) terhadap Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 yaitu :

1. Pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa dimana :

(a). tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;

(b).tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

(c).tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

(d). tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

( e). tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

(f). tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g.tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

(h). tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

(i). tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

(j). tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha yang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) yang tetap memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta tidak menariknya dari peredaran.

5. Pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :

(a). barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

( b). barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

(c). barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;

(d). barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

(e). barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

(f). barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

(g). barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

(i). secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

(j). menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

(k). menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

6. Barang dan/atau jasa di atas tetap diperdagangkan oleh pelaku usaha.

7. Pelaku usaha yang tetap melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Sumber : 

Materi Kuliah Oleh Dosen : DR. HJ. SRI LESTARI POERNOMO , SH,MH
Buku Bacaan :

" Hukum Perlindungan Konsumen'' Oleh Ahmad Miru dan Sutarman Yodo.ha l1, 25,dan 33.

Buku Referensi lainnya :

PERLINDUNGAN KONSUMEN, INSTRUMEN2 HUKUMNYA , YUSUF SHOFIE

KAPITA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA , YUSUF SHOFIE

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, AHMADI MIRU &SUTARMAN YODO


PERLINDNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN, DEDI HARIANTO

TANGGUNG JAWAB PRODUK, DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, ADRIAN SUTEDI

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN, DIJTINJAU DARI HUKUM ACARA SERTA KENDALA IMPLEMENTASINYA


Blog :

 http://belajarhukum27.blogspot.co.id/2014/12/sejarah-lahirnya-hukum-perlindungan.html

https://gunadiemaha.wordpress.com/2010/05/04/pengertian-produsen-konsumen-dalam-tinjauan-tou/ 

http://aprilia-dwi-fib13.web.unair.ac.id/artikel_detail-105726-Psikologi%20Pelayanan%20A-Konsumen%20dan%20Produsen:%20Pengertian%20Produsen,%20HakHak,%20Tanggungjawab,%20dan%20Kewajiban%20Produsen.html

http://cosmovanilast.blogspot.co.id/2012/03/hukum-perlindungan-konsumen.html

Wallahua'lam..