Nisluf Blog

Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Saturday 29 April 2017

TINJAUAN YURIDIS PENGALIHAN UANG KEMBALIAN KONSUMEN DALAM BENTUK SUMBANGAN OLEH PELAKU USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

No comments


SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PENGALIHAN UANG KEMBALIAN KONSUMEN DALAM BENTUK SUMBANGAN OLEH PELAKU USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN


 OLEH :

NAMA      : ANNISA

STAMBUK      : 040 2013 0208


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Muslim Indonesia


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017





KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan penelitian serta menulisnya dakam bentuk skripsi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar guna memperoleh gelas Sarjana Hukum. Shalawat dan salam penulis  haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan jalan kebenaran. 

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkat dari Allah SWT, sehingga kendala-kendala tersebut dapat diatasi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ayahanda  H. Nurla Wally  dan Ibunda tercinta Asna Wally yang senantiasa selalu memberikan motivasi, dukungan, pelajaran, pengalaman hidup, dan kesabarannya dalam mendidik penulis sampai detik ini. Pada kesempatan ini dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati penulis menyampaikan terimah kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Masrurah Mokhtar, MA selaku Rektor Universitas Muslim Indonesia.

2. Bapak Dr. H. Muhammad Syarif Nuh, SH.,MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, dan Wakil Dekan serta seluruh staff.

3. Bapak Hasanuddin Kanenu, SH.,MH selaku Ketua Bagian Hukum Dan Masyarakat atas pengarahannya kepada penulis.

4. Bapak Prof. Dr. Syamsuddin Pasamai, SH.,MH selaku Pembimbing I dan Ibu St. Darwana Handa, SH.,MH selaku Pembimbing II yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan kepada penulis.

5. Bapak Dr. Muhammad Rinaldy Bima, SH.,MH dan Bapak Sudirman Sanusi, SH.,MH. Masing-masing selaku penguji yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan kepada penulis.

6.  Ibu Besse Indriati Masdin, SH.,MH. selaku Pembimbing Akademik yang banyak membantu penulis selama perkuliahan.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia yang telah memberikan ilmu dan pengajarannya selama perkuliahan.

8. Saudara-saudaraku tersayang  Aprilya, Sarni, Feby, Sri, Dilla, Syamsul dan Dita yang selalu memberikan semangat, bantuan, dan mengajarkan kebaikan kepada penulis.

9. Sahabat-sahabat yang tercinta 5CM-FH UMI (Sri Suci Utami, Nur Rahmah, Nurul Safitri Djaafar, Alfinny Alfionita) dan TIWALS (Tika, Ica, Wana, Ayu, Lia, dan Suci) yang telah memberikan dukungan dan doanya.

10. Teman-teman di Fakultas dan KKPH (Muaz, Faje, Iin, Ubul, Ririn, Dana, Enteng, Ulen, dan Yuli) yang banyak membantu dan memberikan dukungan.

11. Semua teman-teman yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yag berkepentingan terutama dalam penerapan serta pengembangan Ilmu hukum di Indonesia.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

    Makassar, 28 Februari 2017
   

    Penulis

 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, upaya untuk mencapai tujuan hidupnya antara lain dengan menjalin kerjasama yang baik antara sesama manusia dalam berbagai macam aspek kehidupan, salah satunya yaitu aspek ekonomi yang didalamnya mencakup masalah-masalah perdagangan, jual beli, dan sebagainya. Perdagangan atau jual beli juga merupakan bukti bahwa sesama manusia saling membutuhkan satu sama lain.

Prinsipnya pelaku usaha memperoleh laba maksimum dengan pengorbanan tertentu, akan tetapi pada praktiknya pelaku usaha seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang berpotensi merugikan konsumen sehingga kepuasan konsumen akhirnya di nomor dua kan. Perbuatan pelaku usaha yang sering merugikan konsumen tetapi tidak disadari oleh konsumen itu sendiri, yakni pengalihan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk lain seperti menukarkannya dengan permen atau yang marak terjadi pada saat ini yaitu melakukan pemotongan pundi amal semacam sumbangan atau donasi secara sepihak dengan alasan tidak adanya uang kembalian atau sekedar ingin membulatkan uang kembalian yang dialihkan ke dalam bentuk sumbangan misalnya yang telah penulis alami sendiri, yakni ketika Penulis berbelanja di sebuah minimarket Indomaret dan juga Alfamidi. Karena dengan alasan uang koin tidak ada atau habis, kasir memberi pilihan agar uang kembalian di donasikan saja. Uang kembalian penulis memang hanya Rp 150,00 maka dengan langsung penulis menyetujuinya. Sedangkan, hal serupa terjadi lagi ketika penulis berbelanja di Alfamidi, dalam struk pembelian dicantumkan donasi Rp 50,00 tanpa ada pemberitahuan dari pihak minimarket bahwa uang kembalian telah disumbangkan. 

Peristiwa seperti ini, apabila seorang konsumen tidak menerima pengalihan uang kembalian tersebut  maka  konsumen akan merasa terpaksa dan harus menerima kenyataan bahwa uang kembalian yang seharusnya diterima utuh harus didonasikan. Jumlah nominal uang yang disumbangkan memang sedikit, tetapi hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan melanggar hak – hak konsumen. Tujuan awal program donasi memang baik tetapi sama seperti bentuk kembalian berupa permen, konsumen merasa terpaksa dan harus berkompromi dengan penawaran yang diberikan oleh pelaku usaha. Disamping itu, konsumen tidak diberikan pilihan atau solusi lain oleh pelaku usaha, sehingga konsumen seakan – akan tidak berdaya untuk menolak tawaran yang diberikan oleh pelaku usaha.

Islam mengajarkan seseorang pelaku usaha itu harus bisa menepati janji dan tidak berkhianat ataupun curang dalam menjalankan usahanya, hal ini telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an pada Surat Al-Baqarah (2:283) bahwa Allah SWT berfirman : 

Artinya :

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Seperti yang telah dijelaskan dari ayat diatas sifat yang harus dimiliki oleh seorang pelaku usaha yaitu harus bisa menepati janji, jujur dan tidak berkhianat ataupun curang dalam menjalankan usahanya. 

Dalam hal pengalihan uang kembalian konsumen yang dialihkan sebagai dana sosial atau sering disebut donasi dapat dikatakan penyimpangan sebab pandangan jual beli yang lazim yang dilakukan oleh masyarakat adalah jual beli dengan menggunakan alat tukar uang untuk mendapatkan suatu barang dan uang kembaliannya diterima dalam bentuk uang juga bukan untuk dana sosial dan kegiatan tersebut terlihat memaksa dan merugikan jika konsumen tidak rela. Adapun aturan yang berkaitan dengan pengalihan uang kembalian konsumen dalam bentuk sumbangan atau donasi yaitu : Undang-undang No. 8 Tahun 1999 jo. Undang – Undang No. 9 Tahun 1961 jo. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1980 jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57 Tahun 2001 jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2001 jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 59 Tahun 2001 jo. Undang-undang No. 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia dan peraturan-peraturan lainnya. 

 Di dalam Penjelasan Pasal 5 Undang – Undang No. 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang menjelaskan bahwa : 

(Pasal 5) ;

“Pemberian sumbangan secara sukarela, tiada dipaksa, merupakan salah satu syarat pemberian izin pengumpulan uang atau barang yang akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesejahteraan Sosial dalam peraturan pelaksanaan”.

Praktik pengalihan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk donasi bukan merupakan kehendak kedua belah pihak melainkan hanya merupakan kebijakan dari pihak pelaku usaha saja. Pihak konsumen tidak mengetahui dan tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha mengenai kepada siapa dana sosial tersebut akan disalurkan. Konsumen akan merasa tidak nyaman apabila setiap mereka berbelanja dan sisa uang kembaliannya dialihkan untuk dana sosial (donasi). Kurangnya pengetahuan konsumen tentang hak-hak mereka dilindungi oleh undang-undang menyebabkan konsumen seakan – akan tidak berdaya dengan tindakan pelaku usaha tersebut. Padahal Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi konsumen dari kecurangan-kecurangan dan tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, konsumen yang tertipu atau merasa hak-hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya, atau yang merasa dirugikan dapat membuat surat pengaduan kepada lembaga-lembaga yang ditunjuk oleh undang-undang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. 

Memuat Undang-undang Mata Uang mengenai penggunaan Rupiah yang terdapat pada Pasal 21 angka (1), adalah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Jika melanggar pasal ini akan dikenakan pidana yang diatur dalam Pasal 33 angka (1).

Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka menghindari adanya pengaturan yang demikian, pengaturan mengenai pengecualian penggunaan uang Rupiah perlu diamanatkan oleh RUU Mata Uang untuk diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-undang Bank Indonesia saat ini.

Permasalahan diatas menjadi latar belakang penulis untuk melakukan penelitian hukum dengan judul “Tinjauan Yuridis Pengalihan  Uang Kembalian Konsumen Dalam Bentuk Sumbangan Oleh Pelaku Usaha Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. 

B.    Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal – hal diluar permasalahan. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1.    Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha yang mengalihkan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk sumbangan atau donasi menurut UU No. 8 Tahun 1999  Tentang Perlindungan Konsumen?

2.    Bagaimana tindakan hukum yang dapat dilakukan konsumen yang menderita kerugian akibat pengalihan uang kembalian oleh Pelaku usaha?

C.    Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk mencari, menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran suatu pengetahuan dan sebagai sarana didalam memecahkan bermacam-macam persoalan didalam masyarakat. Adapun tujuan penelitian yang akan penulis laksanakan yaitu :

1.    Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pelaku usaha yang mengalihkan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk sumbangan menurut UU No. 8 Tahun 1999  Perlindungan Konsumen.

b.   Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan hukum yang dapat dilakukan konsumen yang menderita kerugian atas pengalihan uang kembalian oleh pelaku usaha.

2.  Tujuan Subjektif

a. Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan hukum untuk melengkapi persyaratan akademis dalam rangka meraih gelas sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

b.  Guna menambah pengetahuan dalam bidang Hukum Perdata terutama tentang perlindungan terhadap konsumen.

D.    Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian sendiri yaitu untuk menyelidiki keadaan, alasan maupun konsekuensi terhadap keadaan tertentu. Keadaan tersebut dapat dikontrol dengan melalui eksperimen maupun berdasarkan observasi. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat  Teoretis

a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman hukum terhadap sistem pengembalian uang kembalian konsumen dalam bentuk sumbangan. 

b.Untuk memberikan sumbangan pemikiran akademis bagi para pelaku usaha maupun konsumen mengenai mekanisme hukum dalam Undang-undnag No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

2. Manfaat Praktis

a. Agar masyarakat mengetahui sistem pengalihan uang kembalian konsumen menjadi bentuk sumbangan sesuai dengan peraturan terkait. 

b.Agar masyarakat sebagai konsumen selaku pihak yang dirugikan, dapat mengetahui tanggung jawab pelaku usaha atas pengalihan uang kembalian konsumen kedalam bentuk sumbangan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Tinjauan Umum Tentang  Perlindungan Konsumen 

1.    Pengertian Perlindungan Konsumen dan Konsumen


Istilah Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa:

Pasal 1 (angka 1);
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatas telah memberikan cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah konsumen dalam peraturan perundang-undangan tersebut walaupun ditemukan sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria konsumen. Sedangkan, pengertian konsumen dalam masyarakat umum saat ini bahwa konsumen itu adalah pembeli, pengguna jasa layanan, atau pada pokoknya pemakai suatu jenis produk yang dikeluarkan oleh pelaku usaha. Dalam hubungan ini, pengertian konsumen menurut Abdul Halim Barkatullah  (2008:7) menjelaskan bahwa :

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-Amerika), atau consument atau konsument (Belanda). Secara harfiah diartikan sebagai “ orang atau pelaku usaha yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu “ atau “ sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang".

Dari sudut pandang pengertian konsumen yang lain, Celina (2009:5) memberikan penjelasan mengenai pengertian konsumen, Celina mengungkap bahwa :
“Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apa pun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu”.

Berbeda halnya dengan penjelasan Abdul Halim Barkatullah  dan Celina. Pengertian Konsumen menurut Az. Nasution (2000:23) sesungguhnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

a.  Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen – antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan.
c. Konsumen – akhir, adalah setiap orang alami mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten). Dalam Pasal 1 angka 2 Undang – undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan defenisi konsumen sebagai berikut :

(Pasal 1 angka 2);
“Konsumen adalah Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.   

Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa yang dikatakan sebagai konsumen haruslah pemakai akhir dari suatu barang maupun jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Tetapi disisi lain Undang - undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) tidak memberikan suatu ketegasan maupun penjelasan apakah badan hukum (recht person) atau suatu pelaku usaha yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dapat dikategorikan sebagai konsumen

2.    Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Didalam suatu peraturan, hal yang paling penting dalam terbentuknya suatu peraturan adalah Asas. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu. Asas Hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Kecuali itu Asas Hukum dapat disebut landasan atau alasan bagi terbentuknya suatu peraturan hukum atau merupakan suatu ratio legis dari suatu peraturan hukum yang menilai nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau perundangan etis yang ingin diwujudkan. Karena itu Asas Hukum merupakan jantung atau jembatan suatu peraturan-peraturan hukum dan hukum positif dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.

Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Adapun Asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :

(Pasal 2) ;
a. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
b.Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
c. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual;
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
e.  Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Disamping asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah tujuan. Tujuan adalah sasaran. Tujuan adalah cita-cita. Tujuan lebih dari hanya sekedar mimpi yang terwujud. Tujuan adalah pernyataan yang jelas. Tidak akan ada apa yang bakal terjadi dengan sebuah keajaiban tanpa sebuah tujuan yang jelas. Tidak akan ada langkah maju yang segera diambil tanpa menetapkan tujuan yang tegas. Dan tujuan dalam hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum dalam masyarakat yang bersendikan pada keadilan.

Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen :

(Pasal 3) ;
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
f.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

3.     Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum atau suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum baik pribadi maupun umum. Maka dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima. Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya dikemukakan dulu apa pengertian hak itu.

Dalam Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Hak Konsumen diatur dalam :

 (Pasal 4) ;
a.  Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

 Hak tersebut di atas pada intinya adalah untuk meraih kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Juga untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk di dengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
Hak-hak konsumen yang tersebut di atas berguna untuk melindungi kepentingan konsumen, sebagaimana tercantum dalam tujuan dari perlindungan konsumen yaitu mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen. Sehingga diharapkan konsumen menyadari akan hak-haknya dan pelaku usaha diharuskan untuk memerhatikan apa saja perbuatan-perbuatan usaha yang dilarang menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada lagi pelanggaran hak-hak konsumen.

Selain ada hak, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

(Pasal 5) ;
a.     Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian;
b.     Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.     Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.     Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting yang harus diperhatikan untuk mendapat pengaturan. Adanya pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produksi, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.

Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 3 memberi pengertian tentang pelaku usaha;

(Pasal 1 angka 3);
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

 Penjelasaan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan pelaku usaha yang diikat oleh undang-undang ini adalah para pengusaha yang berada di Indonesia, melakukan usaha di Indonesia. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
Ketentuan di atas dapat dijabarkan ke dalam beberapa syarat, yakni ;

1.     Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:


a.  Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.

b. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersamasama melakukan kegiatan usaha. Badan usaha selanjutnya dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni ; Badan Hukum dan Bukan Badan Hukum.

2.     Badan usaha tersebut harus memenuhi salah satu kriteria ini:

a.     Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara RI

b.     Melakukan kegiatan di wilayah hukun Negara Republik Indonesia.

3.     Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.


4.     Di dalam berbagai bidang ekonomi. Bukan hanya pada bidang produksi.

Dengan demikian jelas bahwa pengertian pelaku usaha menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat luas. Yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).

Menyangkut hak pelaku usaha telah dijelaskan secara rinci dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:

(Pasal 6) :

a.Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d.Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e.     Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain-nya.

Dari hak pelaku usaha di atas diharapkan perlindungan konsumen dapat menghindari hak-hak pelaku usaha yang berlebihan dan berpotensi mengabaikan kepentingan pelaku usaha, jika ada hak maka hak pelaku usaha harus disertai dengan kewajiban. Undang-undang Perlindungan Konsumen menjelaskan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah ;

(Pasal 7) ;

a.  Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d.  Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f.Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dilihat dari uraian di atas, jelas bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lebih spesifik. Karena di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

4.     Bentuk-Bentuk Pelanggaran Pelaku Usaha
Dalam upaya untuk melindungi hak-hak konsumen terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada prinsipnya telah mengklasifikasi bentuk-bentuk pelanggaran tersebut ke dalam 3 kelompok yang dijabarkan dalam Bab IV Pasal 8 sampai dengan Pasal 17, yakni :

1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 );

2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9-16);

3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17) .

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni pelaku usaha dilarang :

(Pasal 8) ;

(1)  Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a.tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c.tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d.tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f.  tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j.tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana dimaksud diatas adalah  untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang di bawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya. Selanjutnya mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran dijelaskan pada Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, bahwa :

(Pasal 9) ;

(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah ;

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;   
 
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;

d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e.  barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f.  barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h.  barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i.  secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;

j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;

k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Pasal 9 UUPK ini pada intinya merupakan bentuk larangan yang tertuju pada “perilaku” pelaku usaha, yang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah meenuhi standar mutu tertentu, memiliki potongan harga dalam keadaan baik dan/atau buruk, telah mendapatkan dan/ atau memiliki sponsor, tidak mengandung cacat tersembunyi. Larangan terhadap pelaku usaha tersebut dalam UUPK membawa akibat bahwa pelanggaran atas larangan tersebut dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum. Selanjutnya, sama dengan Pasal 9 UUPK yang telah dijelaskan sebelumnya, Pasal 10 menjelaskan larangan yang tertuju pada “perilaku” pelaku usaha yang tujuannya mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan iklim usaha yang sehat guna memastikan produk yang diperjualbelikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum. Berikut penjelasan Pasal 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, menjelaskan:

(Pasal 10) ;

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan tentang ;

a.     harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

b.     kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c.     kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;

d.     tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

e.     bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Berhubungan dengan penjelasan dalam Pasal 10, maka dalam Pasal 11 mengatur tentang penjualan yang dilakukan melalui cara obral/lelang. Sedangkan Pasal 12 menentukan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.

Disini ditegaskan bahwa pelaku usaha harus memiliki itikad baik dalam menjalankan usahanya. Pasal 13 juga mengatur hal serupa, yaitu pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupabarang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Sedang yang berkaitan dengan undian,pelarangannya diatur di Pasal 14. Pada Pasal 15 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Pasal terakhir berkaitan dengan perbuatan yang dilarang dalam kegiatan pemasaran adalah Pasal 16 yang mengatur penawaran melalui pesanan.

B.    Tinjauan Umum Tentang Pengumpulan Uang atau Barang


1.    Pengertian Pengumpulan Sumbangan

Secara umum pengumpulan sumbangan merupakan usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang pendidikan dan penanggulangan bencana. Banyaknya pengumpulan sumbangan yang cukup beragam akhir-akhir ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan menjelaskan pengertian Pengumpulan sumbangan dalam Pasal 1 angka 3:

(Pasal 1 angka 3);

“Pengumpulan sumbangan adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohanian, kejasmanian, pendidikan dan bidang kebudayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang”.

Pengumpulan uang atau barang dalam undang-undang ini pada hakekatnya harus ditujukan untuk membangun atau membina dan memajukan suatu usaha yang berguna untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, terutama dalam bidang kesejahteraan, yaitu keselamatan, ketentraman, dan kemakmuran lahir dan batin dalam tata-kehidupan dan penghidupan manusia, baik dalam kehidupan orang seorang maupun dalam kehidupan bersama.  Dalam Pasal 1 Undang - Undang No. 9 Tahun 1961 menjelaskan bahwa :

(Pasal 1) ;

“Yang diartikan dengan pengumpulan uang atau barang dalam undang -undang ini ialah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental / agama / kerohanian, kejasmanisan dan bidang kebudayaan”.

Ketentuan pasal 1 diatas antara lain usaha mendapatkan uang atau barang dengan jalan mengadakan pertunjukan amal, bazar, lelang untuk amal,penjualan barang dngan pembayaran yang berlebih harga sebenarnya atau usaha-usaha lain yang serupa, seperti penjualan kartu undangan,buku-buku dan gambar-gambar atau dengan cara mengirimkan poswissel dengan maksud mencari derma.

2.  Dasar Hukum Pengumpulan Uang atau Barang

a.  Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang.

b.  Undnag-undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

c.  Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 Tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Sosial.

d. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 1/HUK/1995 Tentang Pengumpulan Sumbangan Korban Bencana.

e. Keputusan Menteri Sosial RI Normor 56/HUK/1996 Tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan oleh Masyarakat.

3.    Tujuan Pengumpulan Uang atau Barang 

Mengenai  pelaksanaan pengumpulan uang atau barang maka dalam Pasal 2 Undang-undang No. 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang menjelaskan bahwa :

(Pasal 2) ;

(1)    Untuk menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang sebagaimana dimaksuda dalam pasal 1 diperlukan izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang.

(2)    Pengumpulan uang atau barang yang diwajibkan oleh hukum agama, hukum adat dan adat-istiadat, atau yang diselenggarakan dalam lingkungan terbatas, tidak memerlukan izin tersebut diatas.

Pemberian izin dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara keselamatan dan kententraman rakyat banyak baik secara preventif, maupun represif dari perbuatan orang-orang yang kurang bertanggungjawab. Adapun yang dimaksud dalam pasal 2 pengumpulan uang atau barang yang dipandang tidak memerlukan izin lebih dahulu itu, antara lain sebagai contoh : zakat/zakat fitrah, pengumpulan di dalam masjid, gereja, pura, dan tempat peribadatan lainnya, dikalangan umat  gereja untuk usaha diakonal dan usaha gereja lainnya, gotong royong yang dijalankan dalam keadaan darurat, misalnya pada waktu timbulnya wabah, kebakaran, banjir, topan dan bencana alam lainnya, pada waktu terjadinya bencana tersebut dan lingkungan terbatas dalam sekolah, kantor, rukun kampung/tetangga, seprahamal, desa untuk bersih desa dan lain sebagainya.

Dalam rangka pengendalian  penyelenggaraan pengumpulan sumbangan yang didapat dipertanggungjwabkan secara benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka langkah-langkah yang bersifat preventif atau represif dapat dilakukan Depertemen Sosial sesuai dengan kewenangannya dan melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat dalam hal penanganan lebih lanjut. Selanjutnya, Pasal 3 Undang-undang No. 9 Tahun 1961 telah diatur mengenai pemberian izin untuk menyelenggaran pengumpulan uang atau barang bahwa:

 (Pasal 3) ;

“Izin untuk menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang diberikan kepada perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan dengan maksud sebagai mana tersebut alam pasal 1 yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan”.

Dalam rangka pengendalian penyelenggaraan pengumpulan sumbangan yang didapat dipertanggungjwabkan secara benar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka langkah-langkah yang bersifat preventif atau represif dapat dilakukan Depertemen Sosial sesuai dengan kewenangannya dan melakukan koordinasi dengan kepolisian setempat dalam hal penanganan lebih lanjut.

Pengumpulan sumbangan yang dilakukan tanpa izin dari pejabat yang berwenang atau tidak sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam keputusan izin atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat dikenakan saksi pidana sebagaimana ditetapkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang.



BAB III
METODE PENELITIAN


A.    Tipe Penelitian Bahan Hukum


Tipe penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.
Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian dokrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder.

B.    Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data sekunder (secondary data),yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau masyarakat, melainkan diperoleh dari studi kepustakaan yang mencakup berbagai buku, dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah yang berupa laporan serta bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini,sumber data yang digunakan adalah :

a.    Bahan Hukum primer 

Dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya :

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

4.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

6.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan peraturan-peraturan lainnya.

b.     Bahan Hukum sekunder 

Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang pengumpulan uang atau barang, sengketa konsumen dan LPKSM seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan permasalahan diatas.

c.     Bahan Hukum tersier 

Semua dokumen yang berisi tentang konsep– konsep dan keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan sebagainya.

C.     Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

   Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan sebagai sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, jurnal, artikel-artikel dari internet, maupun literatur-literatur lain yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari bahan hukum tersebut, kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini.

D.     Teknik Analisis Bahan Hukum

Penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskripsikan data-data yang diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan yang khusus.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Tanggungjawab Pelaku Usaha Atas Pengalihan Uang Kembalian Konsumen Dalam Bentuk Sumbangan Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, dimana terdapat pihak yang menjual atau biasa disebut penjual dan pihak yang membeli atau biasa disebut pembeli, perjanjian tersebut tentu merupakan suatu perbuatan hukum yang memiliki akibat-akibat hukum tertentu. Dalam Pasal 1457 KUHPerdata menerangkan pengertian jual beli sebagai berikut:

(Pasal 1457) ;
“Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian. Dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia, karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut jual beli tetap tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan.

Pelaku usaha selaku penjual adalah salah satu komponen yang tidak terpisahkan dari masyarakat, partisipasi pelaku usaha dalam pembangunan sosial salah satu diantaranya yaitu melalui kegiatan-kegiatan bersifat sosial, seperti memberikan bantuan kepada korban bencana alam, fakir miskin, dan sebagainya. Kegiatan ini biasa disebut program pundi amal. Program pundi amal adalah program yang dilakukan dalam rangka membangun kesejahteraan sosial dengan mengumpulkan sumbangan dari masyarakat. Salah satu contoh yakni pengalihan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk sumbangan atau donasi.

Dalam UUPK sendiri tidak diatur secara jelas dan terperinci mengenai masalah pengembalian uang, akan tetapi yang menjadi landasannya adalah diaturnya hak konsumen dalam Pasal 4 dan kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7. Pengaturan lebih lanjutnya terdapat pada kebijakan pelaku usaha itu sendiri. Kemudian juga dapat dijadikan dasar adalah UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia, dikatakan bahwa alat pembayaran yang sah di wilayah RI adalah uang Rupiah, di sini semakin jelas bahwa alat pembayaran yang sah harus menggunakan uang tidak dapat diganti dengan apapun.

Perlindungan konsumen membahas tanggung jawab pelaku usaha yang dikenal ada beberapa macam prinsip tanggung jawab yang berdasarkan beberapa sumber hukum formal, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar dilapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tangung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsume.n

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan konsumen dapat dibedakan sebagai berikut :

1)     Kesalahan (liability based on fault)

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu

a. adanya perbuatan;   
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan.

2)  Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability).

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi:

a. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

b. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya keragian.

c. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.

d.  Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian.

3)   Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)

Prinsip ini kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

4)  Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict abitity) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.


5)  Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi perjanjian standar yang dibuatnya.

Dari kelima prinsip diatas yang dipergunakan dalam UUPK adalah prinsip tanggung jawab mutlak. Tanggung jawab mutlak ((strict liability) adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. Tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Karenanya, prinsip strict liability ini disebut juga dengan liability without fault. Dalam prinsip tanggung jawab mutlak beban pembuktian terhadap pelanggaran berada ditangan pelaku usaha.

Prinsip tanggung jawab mutlak ini dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang yang produknya merugikan konsumen, prinsip ini lebih dikenal dengan product liability. Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan prinsip tanggung jawab ini terletak pada risk liability yang mempunyai arti kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian itu. Namun si konsumen tetap diberikan beban pembuktian walaupun tidak sebesar si pelaku usaha.

Penentuan tanggungjawab harus melihat beberapa hal yaitu :

1. Adanya hak konsumen yang dilanggar dengan tindakan pelaku usaha dalam pengalihan uang kembalian konsumen kedalam bentuk sumbangan;

2. Adanya kewajiban pelaku usaha yang tidak terpenuhi dengan terjadinya pengembalian uang kembalian tersebut.

Setelah terpenuhinya 2 (dua) hal diatas barulah pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban terkait masalah pengalihan uang kembalian dalam bentuk sumbangan atau donasi. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab pelaku usaha atas pengalihan uang kembalian konsumen kedalam bentuk sumbangan yang menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict lialibility) dalam mengantisipasi kecenderungan perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita konsumen akibat pengalihan uang kembalian konsumen kedalam bentuk sumbangan.

Keuntungan yang didapat pihak pelaku usaha sangat sering membuat konsumen menderita kerugian, kerugian yang terjadi seperti harga (fixed pricing) atau menjual rugi (predatory pricing), kualitas pelayanan terhadap konsumen dan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Akan tetapi, kerugian yang diterima oleh konsumen bahwa selanjutnya tidak ada perjanjian atas pelaku usaha untuk bertanggung jawab maka walaupun tidak ada perjanjian atas pelaku usaha untuk bertanggung jawab hal ini sudah menjadi kewajiban pelaku usaha untuk bertanggung jawab, seperti yang telah diatur dalam Pasal 1494 KUHPerdata bahwa :

(Pasal 1494);
“Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung suatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya, segala perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal.”

Akibat dari perbuatan itulah yang menimbulkan adanya suatu tanggung jawab dari pelaku usaha, dimana tanggung jawab itu harus dipikul olehnya sendiri. Baik akibat dari perbuatan yang melanggar hukum tersebut dikehendakinya maupun tidak dikehendaki oleh si pembuat atau dalam arti karena kurang hati-hati atau kelalaiannya menyebabkan timbulnya perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Maka pertanggungjawaban pelaku usaha dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu:

(Pasal 19) ;

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)  Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4)  Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pembuktian mengenai ada tidaknya unsur kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana. Dimana sistem beban pembuktian yang dianut oleh UUPK adalah sistem beban pembuktian terbalik. Ketentuan mengenai beban pembuktian terbalik, yaitu pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan pelaku usaha pada posisi yang sulit semata-mata, tetapi karena kedudukan pelaku usaha sebagai produsen jauh lebih kuat dibandingkan konsumen. Antara lain disebabkan kemampuan pengusaha di bidang keuangan, kemajuan teknologi industri yang amat pesat, dan kemampuan pengusaha untuk memakai ahli hukum yang terbaik dalam menghadapi suatu perkara.

B.  Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Konsumen Atas Pengalihan Uang Kembalian Dalam Bentuk Sumbangan

Jika konsumen menderita kerugian yang disebabkan pelaku usaha yaitu hal yang paling sederhana dilakukan adalah meminta ganti rugi kepada pelaku usaha yang telah mengalihkan uang kembalian konsumen kedalam bentuk sumbangan. Apabila tuntutan ganti rugi yang diminta tidak terpenuhi oleh pelaku usaha maka konsumen berhak melakukan pengaduan akan hal ini kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Adapun pihak konsumen yang diberi hak mengajukan gugatan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yaitu :

(Pasal 46 angka 1) ;

(1)    Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :

a.    Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b.     Sekelompok konsumen yang mepunyai kepentingan yang sama;

c.    Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang memenuhi syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam gugatan dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar;

d.    Pemerintah dan/atau instansi terkait, jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Penuntutan penyelesaian pengembalian uang kembalian konsumen yang dilakukan pelaku usaha dapat dilakukan  dengan mengajukan gugatan class action melalui peradilan umum telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang mengatur class action ini di Indonesia. Gugatan class actioan akan lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan misalnya terhadap orang banyak.

Ganti rugi yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pihak yang memasarkan produk-produk kebutuhan sehari-hari terhadap  pengalihan uang kembalian dengan sumbangan atau donasi adalah pelaku usaha bertanggung jawab untuk mengganti uang koin atau setara nilainya kepada konsumen yaitu sesuai dengan kelalaian yang melanggar Pasal 19 angka 2 UUPK yang menyatakan bahwa:

(Pasal 19 angka 2);
“Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemeberian santunan yang sesuai dengan ketentuan”peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Selanjutnya tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap pelaku usaha secara hukum perdata dapat dibedakan menjadi 2 yakni :

1. Kerugian transaksi yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang yang tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi.

2.Kerugian produk adalah kerugian yang langsung atau tidak langsung yang diderita akibat dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko produksi akibat perbuatan melawan hukum.

Bahwa selanjutnya adanya ganti rugi atas tanggungjawab yang dilakukan pelaku usaha yaitu menurut Pasal 19 ayat (2) UUPK, sedangkan ganti rugi yang dapat didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu :

(Pasal 1365);
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Dengan adanya perlindungan hukum terhadap konsumen, apabila ketetapan tersebut telah dilanggar maka, Undang-undang Mata Uang menetapkan Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif bagi pelaku usaha , dalam Pasal 33 angka 2 Undang-undang Mata Uang menjelaskan:

(Pasal 33 angka 2);

“Setiap orang dilarang menolah untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksud sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidanakan dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pemberian sanksi ini berupaya agar memberikan efek jera terhadap perlaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga menciptakan masyarakat Indonesia yang tertib hukum, sehingga jelas eksistensi negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian sehubungan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh konsumen yang menderita kerugian akibat pengalihan uang kembalian oleh pelaku usaha, dimungkinkan penyelesaian hukum itu mengikuti beberapa lingkup peradilan. Misalnya melalui peradilan umum atau konsumen memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan seperti :

1.  Penyelesaian Sengketa Litigasi (Melalui Pengadilan)

Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win win sulution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang salah. Dalam Pasal 45 UUPK telah menjelaskan bahwa :

(Pasal 45);

(1)“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui  peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”

(2)Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.   

Setiap pengaduan konsumen terhadap kerugian yang dideritanya dari pelaku usaha dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 45 ayat (1) diatas yaitu :

1. Gugatan kepada pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di luar peradilan dalam hal ini : Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembanga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

2. Gugatan kepada pelaku usaha melalui peradilan umum menggunakan ketentuan hukum acara perdata, sebagaimana penyelesaian kasus perdata pada umumnya.

Ketentuan ayat 2 Pasal 45 berikutnya menjelaskan, ”penyelesaian pengalihan uang kembalian konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela kedua belah pihak”. Selanjutnya dijelaskan, pilihan untuk berperkara di pengadilan atau di luar pengadilan adalah pilihan sukarela para pihak. Penyelesaian ayat 2 Pasal 45 diatas menyebutkan adanya kemungkinan perdamaian diantara para pihak sebelum mereka berperkara di pengadilan atau di luar pengadilan. Dengan demikian, kata “sukarela” harus diartikan sebagai pilihan para pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk menempuh alternatif perdamaian.

Hal-hal yang mendukung untuk melakukan penyelesaian di dalam pengadilan apabila:

a.     Para pihak belum memilih upaya penyelesaian di luar pengadilan;

b.     Upaya penyelesaian di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Namun adanya kendala yang dihadapi jika berperkara di peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan minimarket dalam penyelesaian pengalihan uang kembalian adalah :
1.     Penyelesaian pengembalian uang melalui peradilan sangat lambat;

2.     Biaya perkara yang mahal;
3.     Pengadilan pada umumnya tidak responsif;
4.     Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
5.     Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

Di antara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian pengalihan uang kembalian konsumen di minimarket melalui peradilan, termasuk banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak yang mengharapkan penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka.

Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan Hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).

2.     Penyelesaian di luar Peradilan Umum (non litigasi)

Penyelesaian sengketa lewat jalur non litigasi terbagi menjad beberapa metode yaitu:

1.    Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.

2.    Mediasi

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa yang kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.

3.    Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah Hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.

Tujuan dari penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan sesuai dengan Pasal 47 UUPK untuk tercapainya bentuk dan besarnya ganti rugi demi memberikan kepastian bahwa tidak terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Untuk penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen diluar pengadilan, pemerintah membentuk BPSK.

Dengan megetahui BPSK sebagai badan khusus di luar peradilan umum yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, maka konsumen yang hak-haknya merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan pada BPSK, karena BPSK merupakan badan penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK.

Untuk mengatasi keberlakuan proses pengadilan, UUPK memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian kembalian uang koin diluar peradilan. Pasal 45 (angka 4) UUPK menyebutkan:

(Pasal 45 angka 4);
“Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang bersangkutan”.

Ini berarti penyelesaian di pengadilan pun tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka diluar pengadilan. Maksud kata-kata “dinyatakan tidak berhasil” dalam ayat diatas tidak jelas. Secara redaksional, juga tidak jelas apakah yang dimaksud dengan istilah “penyelesaian diluar pengadilan” ini adalah upaya perdamaian diantara mereka, atau juga termasuk penyelesaian melalui BPSK.

Jika yang dimaksud dengan istilah “penyelesaian diluar pengadilan” ini termasuk penyelesaian melalui BPSK, tentu saja tidak mungkin, salah satu pihak atau para pihak dapat menghentikan perkaranya ditengah jalan, sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Dengan demikian, kata-kata “dinyatakan tidak berhasil” pun tidak mungkin dapat dilakukan untuk memilih penyelesaian melalui BPSK, maka mereka seharusnya terikat untuk menempuh proses pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Jika mereka tidak dapat menerima putusan itu, barulah mereka diberi hak melanjutkan penyelesaian di Pengadilan Negeri.

Pasal 54 ayat (3) UUPK menegaskan, bahwa putusan majelis dari BPSK itu bersifat final dan mengikat. Kata-kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan kasasi. Yang ada adalah “keberatan” yang dapat disampaikan kepada Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari kerja, setelah pihak yang berkepentingan menerima pemberitahuan putusan tersebut. Jika pihak yang dikalahkan tidak menjalankan putusan BPSK, maka putusan itu akan dan oleh BPSK kepada penyidik untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup dalam melakukan penyidikan. UUPK sama sekali tidak memberi kemungkinan lain bagi BPSK kecuali, menyerahkan putusan itu kepada penyidik. Dalam hal ini UUPK tidak menggunakan kata “dapat” sehingga berati menutup alternatif untuk tidak menyerahkan kasus itu kepada penyidik.

 

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
  
A.     Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1.Dalam hal pengalihan uang kembalian konsumen, tanggungjawab pelaku usaha yang sesungguhnya adalah tanggungjawab moral berupa etika berdagang yang baik, pada dasarnya bukan masalah besar kecilnya jumlah uang yang dialihkan ke dalam bentuk sumbangan atau donasi akan tetapi, kejujuran pelaku usaha dalam menjalankan usahanyalah yang dituntut oleh konsumen.

2.Tindakan hukum yang dapat dilakukan konsumen dalam pengalihan uang kembalian oleh pelaku usaha adalah melakukan penuntutan kepada pelaku usaha melalui gugatan ganti rugi dengan jalur litigasi yakni peradilan umum (peradilan niaga) dan yang kedua dengan jalur non litigasi yakni melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

B.     Saran

1.Hendaknya adanya peran aktif dari pemerintah dalam pelaksanaan hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam UUPK, hal ini bertujuan agar masyarakat selaku konsumen yang awam terhadap hukum mengetahui bahwa hak-hak mereka dilindungi oleh hukum.

2. Masyarakat sebaiknya lebih kritis dalam pelaksanaan haknya agar pelaku usaha tidak berani lagi melakukan kecurangan dalam pengalihan uang kembalian konsumen ke dalam bentuk sumbangan atau donasi tanpa izin dari konsumen.

 

DAFTAR PUSTAKA


A.    Buku-buku 

Al-Qur-an dan terjemahannya.

Abdul Halim Barkatullah. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. Banjarmasin: FH Unlam Press.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Andrian Sutedi. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia.

Az. Nasution. 2000.  Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media.

Burhanuddin S. 2011. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen Dan Sertifikasi Halal. Malang: UIN-Maliki Press.

Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.

Dedi Harianto. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Erman Rajaguk (dkk). 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.

Firman Tumantara Endiprdja. 2016. Hukum Perlindungan Konsumen Filosofi Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Politik Hukum Negara Kesejahteraa.Malang: Setara Press.

Gunawan Widjaja Ahmad Yani. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta:  PT.Gramedia Pustaka Utama.

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,Ed. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.

Janus Sidabalok. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia Dengan Pembahasan Atas UU No. 8 Tahun 1999. Bandung : Citra Aditya Bakti.

J. Sario. 1992. Hukum Perikatan (Perjanjian pada umumnya). Bandung: Citra Aditya Bakti.

M. Nazil. 2010. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 
R. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto. 2011.  Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyadi. 2000. Diktat Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Purwokerto: (Fakultas Hukum UNSOED).

Shidarta. 2000. Hukum Perlidungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Sudikno Mertokusumo. 1999.  Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Cet. Kedua. Yogyakarta: Liberty.

Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Yusuf Shofie. 2003. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undnag Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori Dan Praktek Penegakan Hukum. Bandung: Citra Adetia Bakti.

Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana.

B.    Perundang-undangan


Republik Indonesia,Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Undang-undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Undang-undang No. 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang dan peraturan-peraturan lainnya.

C.    Internet 

http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-126716.pdf
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/SEKAR%20DHATU%20INDRI%20H.pdf
http://daniearabas.blogspot.co.id/2013/10/hadis-pemasaran-dalam-islam.html
https://pengusahamuslim.com/210-etika-pengusaha-muslim.html
https://tafsiralquran2.wordpress.com/2012/11/27/2-283/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/59442/3/Chapter%20II.pdf
http://dhidckhi.blogspot.co.id/2011/06/peran-lembaga-perlindungan-konsumen.html
http://smktsukabumi.blogspot.co.id/2010/07/pengumpulan-sumbangan-sosial.html 






RANGKUMAN TENTANG NEGARA HUKUM DEMOKRATIS

No comments
NEGARA HUKUM DEMOKRATIS

Terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum, yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Korelasi ini tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional. Dalam sistem demokrasi, penyelenggaraan negara ituharus bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat. Hubungan antara negara hukum dan demokrasi tidak bisa dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demkrasi akan kehilangan makna. Menurut Franz Magnis Suseno, "Demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum". Dengan demikian, negara hukum yang bertopang pada sistem demokratis dapat disebut sebagai negara hukum demokratis (democratiche rechsstaat). Disebut negara hukum demokratis , karena didalamnya mengakomodir prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. 
J.B.J.M Ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokratis tersebut sbb: 

a. prinsip-prinsip negara hukum;

1) Asas legalitas.

Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Undnag-undang secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintas) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanna wewenang oleh organ pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada undnag-undang tertulis (undnag-undnag formal).

2) Perlindungan hak-hak asasi.

3) Pemerintah terikat pada hukum.

4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.

Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum itu dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa ditegah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakkan hukum. Pemerintahan dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas pemerintah.

5) Pengawasan oelh hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.

b. Prinsip-prinsip demokrasi

1) perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam sutau negara dan dalam masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang dipilih melalui pemilihan umum.

2) Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sedikit banyak bergantung secara politik, yaitu kepada lembaga perwakilan.

3) Pemencaran kewenangan. konsentrai kewenangan dalam masyarakat pada satu organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. oleh karena itu, kewenangan badan-badan publik itu harus dipencarkan pada organ-organ yang berbeda.

4) pengawasan dan kontrol. (penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat dikontrol.

5) kejujuran dan keterbukaan pemerintaahn untuk umum.

6) rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.


Dengan rumusan yang hampir sama, H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan prinsip-prinsip rechtsstaat dan prinsip-prinsip demikrasi berikut ini:

a. prinsip-prinsip rechtsstaat

1) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; pemerintah hanya memiiki kewenangan yang secara tegas diberikan oelh UUD dan UU lainnya.
2) Hak-hak asasi; terdapat hak-hak manusia yang sangat fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah.

3) Pembagian kekuasaan; kewenangan pemerinyah tidak boleh dipusatkan pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang berbeda agar saling mengawasi yang dimaksdukan untuk menjaga keseimbangan. 

4) pengawasan embaga kehakiman, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang merdeka.

b. prinsip-prinsip demokrasi;

1) keputusan-keputusan penting, yaitu undang-undang, diambil bersama-sama dengan perwakilan rakyat yang dipilih berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan rahasia.

2) Hasil dari pemilihan umum diarahkan untuk mengisi dewan perwakilan rakyat dan untuk pengisian pejabat-pejabat pemerintahan.

3) keterbukaan pemerintahan.

4) siapapun yang memiliki kepentingan yang (dilanggar) oleh tindakan penguasa (harus) diberi kesempatan untuk membela kepentingannya.

5) setiap keputusan harus melindungi berbagai kepentingan minoritas, dan harus meminimal mungkin menghindari ketidakbenaran dan kekeliruan.

Sumber bacaan : "Hukum Administrasi Negara" Edisi Revisi oleh : Dr. Ridwan HR halaman 8-11

MENGUBAH SUDUT PANDANG

No comments
HIDUP MENJADI 
MEMBOSANKAN JIKA KITA 
HANYA TERUS MENCARI PENGAKUAN


MENGUBAH SUDUT PANDANG 


"Apakah kamu mau makan ini?" tanya seorang bapak sambil menunjuk salah satu gambar makanan di menu, kepada anaknya yang terlihat bingung memilih menu makan malamnya. Saya menjadi saksi peristiwa di meja seberang. Sontak anaknua menjawab, "Apa itu?"

Saat kita berada diposisi anak tersebut, jawaban yang wajar adalah, "Apa itu?" Keputusan mau atau tidak memesan makanan itu salah satunya tergantung dari jawaban atas pertanyaan, "Apa itu?" Beberapa dari kita mau makan kalau itu daging sapi, bukan daging ayam. Begitu pula sebaliknya.

Beberapa dari kita mau makan kalau itu daging ayam bukan daging sapi. Tidak banyak yang mau makan kalau daging itu tidak diketahui dari binatang apa, tidak diketahui secara jelas asal-usulnya. Jika saya, saya tidak mau makan kalau itu daging.

Ada juga yang mau makan kalau itu adalah makanan yang sedang hangat diperbincangkan di media sosial. NAmun, yang menurut saya lebih menarik adalah rasa makanan itu di lidah kita akan tergantung pada yang kita pikir sedang kita makan.

Misalnya, jika kita berpikir makanan tersebut hanya boleh dimakan oleh orang-orang yang tidak sembarangan, rasanyapun akan enak meskipun mungkin sebenarnya tidak enak.

Contoh lainnya didemonstrasikan oleh anak kecil. Bagaimana kita bisa membuat anak-anak tidak hanya memilih makan sayuran, tetapi juga mendapatkan kepuasan mereka setelah makan sayuran dan mereka berpikir bahwa rasa sayuran enak? Salah satu cara sederhananya adalah kita katakan bahwa sayuran itu dari Iron man.

Meskipun terdengar konyol, dengan mereka percaya bahwa sayuran, termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan Iron Man, pasti bagus untuk mereka, membuat mereka merasa rasa sayuran enak.

Jika tadi anak kecil, sekarang orang dewasa. Bagaimana kita membuat orang dewasa menikmati makanan atau minuman yang kita sajikan untukny? Sangat sederhana. Salah satunya dengan cara pastikan mereka tahu bahwa makanan atau minuman yang kita sajikan itu mahal.

Sekarang ada lusinan, bahkan mungkin ratusan, penelitian yang menunjukkan bahwa jika kita percaya kita minum minuman atau makan makanan mahal, rasanya akan lebih enak. Hal ini belakangan dipelajari dan dikaitkan de ngan ilmu saraf.

Mereka memindai orang dengan mRI. Selagi orang tersebut terbaring di sanan, di dalam tabung, dia diminum minuman dan makan. Didepannya ada layar yang menampilkan informasi minuman dan makanan tersebut.

Semua orang yang menjadi objek penelitian ini, tentu saja minum minuman dan makan makanan yang sama. Jika mereka oercaya bahwa mereka minum minuman dan makan makanan mahal, bagian dari otak yang berhubungan dengan kepuasan dan penghargaan terhadap yang mereka alami akan menyala seperti lampu hias.

Mereka tidak hanya akan berkata kalau minuman dan makanan tersebut rasanya lebih lezat, tetapi juga akan berkata kalau dia lebih menyukainnya daripada makan lain. Mereka benar-benar mengalaminya dengan cara yang berbeda karena mengetahui asal-usul dari minuman dan makanan tersebut.

Penelitian tersebut membuat saya lebih mengenal dan memahami diri sebagau manusia. Tidka melulu tentang minuman dan makanan, tetapi ini juga ebrkaitan dengan kehidupan. Dalam kehidupan, ada kalanya yang terjadi tak sesuai dengan keinginan, yaa.... semacam "tamparan".

Sebuah tamparan dari tangan yang sama, dari orang yang sama, dngan kekuatan yang sama, disituasi dan kondisi yang serupa, belum tentu menghasilkan rasa sakit dan luka yang sama. Tergantung segala yang kita ketahui akan tamparan itu.

Tergantung sudut pandang kita tentang tamparan tersebut. Tamparan yang sama akan menjadi berbeda jika kita tahu bahwa tamparan yang stau dari orang yang kita benci,sedangkan tamparan yang lain dari orang yang kita cintai.

SEMOGA KITA DAPAT
BIJAKSANA DALAM 
MENGETAHUI DAN MEMILIH
SUDUT PANDANG SEHINGGA
KITA MAMPU MEMBERI 
MAKNA YANG APA ADANYA
UNTUK MENCIPTAKAN HIDUP
BAHAGIA....

Dikutip dari buku favorite hehehhehe " SADAR PENUH HADIR UTUH" Oleh Adjie Silarus