Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Wednesday 12 April 2017

CONTOH MAKALAH HUKUM KEPAILITAN

No comments

 PERBANDINGAN ANTARA PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN
 ASURANSI DAN PERBANKAN


KATA PENGANTAR
 
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, dan hidayahNya, kami dapat menyelesaikan Makalah Kepailitan tentang Perbandingan Antara Proses Perusahaan Asuransi Dan Perbankan. Semoga dengan membaca makalah  ini,  para pembaca akan lebih memahami aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pelayaan kesehatan. Kritikan dan saran yang membangun untuk kami demi kemajuan makalah ini sangat diharapkan.  Semoga makalah ini dapat bermanfaat.



       
Penyusun



DAFTAR ISI
 

KATA PENGANTAR ……..............................................................................................    i

DAFTAR ISI………………............................................................................…………  ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah........................................................................................      1

B.    Rumusan Masalah .................................................................................................     2

C.    Tujuan.....................................................................................................................      2

BAB II PEMBAHASAN 

A.    Perbandingan Antara Proses Kepailitan Perusahaan Asuransi dan
 Perbankan..…….............................…........................................................................      3

1.    Proses Kepailitan Perusahaan Asuransi............................................................       3

2.    Proses Kepailitan Perbankan ...........................................................................      14

BAB III PENUTUP

A.    KESIMPULAN..................................................................................................      18

DAFTAR PUSTAKA


 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi, bangkrut. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation, likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi yaitu suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi. Padah tahap insolvensi penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui. Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan oleh Pengurus terhadap perseoroan yang mengalami kepailitan. Maka kelompok kami akan membahas mengenai
 PERBANDINGAN ANTARA PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERBANKAN.

B.    Rumusan Masalah

1.   Bagaimana Proses Kepailitan Dalam Perusahaan Asuransi?

2.   Bagaimana Proses Kepailitan Dalam Perbankan?

C.     Tujuan

1.   Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Proses Kepailitan Dalam Perusahaan Asuransi.

2.   Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Proses Kepailitan Dalam Perbankan.

 
BAB II
PEMBAHASAN

 
A.    Perbandingan Antara Proses Kepailitan Perusahaan Asuransi dan Perbankan

1.    Proses Kepailitan Perusahaan Asuransi


Perusahaan asuransi merupakan lembaga keuangan nonbank yang mempunyai peranan tidak jauh berbeda dari bank, yaitu bergerak dalam bidang layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat dalam mengatasi resiko yang akan terjadi di masa yang datang. Namun demikian perusahaan asuransi mempunyai perbedaan karakteristik dengan perusahaan nonasuransi seperti kegiatan penjaminan, aktuaria, klaim, reasuransi dan retrosesi. Asuransi atau pertanggungan, di dalamnya selalu mengandung pengertian adanya suatu risiko. Terjadinya risiko belum pasti antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara menghindari, atau melimpahkannya kepada pihak lain diluar dirinya sendiri. Demikian juga dalam hal asuransi, sifat tersebut akan selalu ada, sehingga di pandang perlu adanya suatu upaya untuk meminimalisasi resiko yang tidak pasti yaitu dengan cara melimpahkan kepada pihak lain atau yang telah di kenal dengan istilah Reasuransi.
Hal ini di dasari dengan sistem perekonomian nasional yang kurang stabil bahkan cenderung semakin terpuruk. Sehingga banyak kegiatan usaha yang tidak dapat meneruskan usahanya, termasuk dalam hal memenuhi kewajibannya pada kreditor, tidak terkecuali usaha dalam bidang asuransi. Karena hal inilah maka diperlukan aturan hukum yang jelas dan sempurna yang mengatur adanya kepailitan. Kepailitan dan penundaan atau pengunduran pembayaran (surseance) lazimnya dikaitkan dengan masalah utang piutang antara seseorang yang dapat disebut debitor dengan mereka yang mempunyai dana yang disebut kreditor. Para kreditor yang memegang jaminan berhak menjual jaminan tanpa terpengaruh walaupun debitor dinyatakan pailit.

Perusahaan asuransi jika dipailitkan, maka semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau tulisannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda. Berdasarkan kenyataan diatas, dalam rangka pemailitan perusahaan asuransi maka diperlukan suatu pendekatan yang berorientasi kebijakan hukum Kepailitan.
Ketentuan hukum penyelesaian hutang-piutang, khususnya dalam rangka melindungi kepentingan kreditur (tertanggung), hukum positif Indonesia sebenarnya sudah memberikan jalan keluar dengan beberapa alternative pilihan yaitu berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Kepailitan dan Ketentuan Undang-Undang Perasuransian (Usaha perasuransian). Diantara ketiga alternative pilihan tersebut, ketentuan Undang-Undang Perasuransianlah yang lebih banyak memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap nasabah. Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa kedudukan nasabah asuransi dalam perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit merupakan kreditur yang diutamakan.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk tertanggung yang pembayaran premi asuransinya telah jatuh tempo dan berhak atas pembayaran klaim asuransi, maka tertanggung yang bersangkutan menempati kedudukan sebagai kreditur yang diutamakan (preferen), sedang bagi tertanggung yang belum berhak atas pembayaran klaim asuransi, baik karena polisnya belum jatuh tempo (asuransi jumlah) atau peristiwanya (evenemen) belum terjadi, maka kedudukannya adalah sebagai kreditur biasa (konkuren).

Secara logika pendapat tersebut di atas boleh saja di terima bila kesepakatan untuk menyelesaikan perkara kepailitan asuransi atau pemberesan harta pailit perusahaan asuransi mengacu pada ketentuan pasal 20 ayat (2) Usaha Perasuransian, sehingga otomatis tertanggung ditempatkan sebagai kreditur preferen. Tetapi masalahnya akan lain bila kurator atau BHP  memiliki pandangan sendiri dan bertolak belakang dengan apa yang di maksud di atas. Yang paling mengkhawatirkan adalah bila kurator atau BHP secara mutlak berpedoman pada ketentuan pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, dimana sepanjang masih ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (kreditur separatis yang berada di luar tertanggung), maka kedudukan tertanggung sebagai kreditur istimewa atau  privilege menjadi tidak berarti. Karena menurut ketentuan pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata, kedudukan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (gadai,hipotek,fidusia dan hak tanggungan) lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan (privilege). Ini berarti bahwa kedudukan Tertanggung pemegang polis atau yang memiliki hak menikmati (beneficiary) atas polis adalah sebagai kreditur nomor dua. Walaupun namanya tetap sebagai kreditur preferen yang di istimewakan (Privilege), tetapi hak-haknya baru dibayarkan setelah hak-hak para kreditur preferen yang separatis diselesaikan lebih dahulu.

Dalam kepailitan perusahaan asuransi, peraturan perundang-undangan tidak mengatur tentang adanya penangguhan pembayaran, baik di dalam undang-undang kepailitan maupun undang-undang usaha perasuransian. Oleh karena itu tidak di benarkan apabila di dalam proses kepailitan perusahaan asuransi di dapatkan penangguhan pembayaran, jika suatu perusahaan asuransi pailit dan di tengah jalan ada polis asuransi yang telah jatuh tempo, ataupun ada klaim karena terjadi evenemen terhadap polis tertanggung, maka pihak tertanggung tetap bisa mendapatkan klaim dari pihak asuransi, karena jika perusahaan asuransi pailit, sesuai dengan kebijakan dari pihak asuransi untuk melindungi nasabahnya, kebijakan tersebut di keluarkan dalam bentuk adanya suatu daftar tunggu pembayaran yang di buat oleh perusahaan asuransi, sehingga apabila terjadi pailit maka tertanggung akan mendapatkan pembayaran sesuai dengan nomer urut pembayaran atas klaim yang tercantum di dalam daftar tunggu pembayaran yang di buat oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kebijakannya, oleh karena itu sekali lagi di tekankan tidak di kenal penangguhan pembayaran di dalam proses kepailitan dari perusahaan asuransi karena tidak ada peraturan hukum yang mengatur hal demikian.

Jika suatu perusahaan asuransi telah dinyatakan pailit maka nasabah pemegang polis asuransi dari perusahaan asuransi tersebut berhak mengajukan tuntutan pemenuhan kewajiban pembayaran utang terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan melalui Pengadilan Negeri baik secara perdata maupun pidana. Lebih tepatnya mengenai perlindungan hukum terhadap kreditor perusahaan asuransi yang telah dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :

1.     Berdasarkan seluruh ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Kepailitan maka harus dilihat terlebih dahulu apakah persengketaan antara kreditor dan debitor dapat didamaikan, jika kedua belah pihak tidak mau berdamai maka kurator akan melakukan pemberesan harta kekayaan perseroan;

2.     Berdasarkan ketentuan Pasal 20 dalam Undang-Undang Asuransi, maka nasabah pemegang polis mempunyai hak utama terhadap pembagian harta perseroan;

3.     Pemenuhan hak kreditor, diambil dari sisa asset yang tersisa setelah seluruh kewajiban perseroan tertutupi. Jika lebih kecil, maka harus dibagi berdasarkan jenis kreditornya apakah kreditor preferen, separatis maupun konkuren.

Hal-hal lain yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi nasabah perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit adalah :

1.    Jika Direksi atau Komisaris melakukan penyelewengan terhadap asset kekayaan perusahaan asuransi, maka kurator sebagai kuasa perusahaan asuransi harus mengusut Direksi atau Komisaris melalui Pengadilan Negeri;

2.    Tidak ada upaya hukum lain diluar Undang-Undang Kepailitan selain melalui Pengadilan Negeri baik dengan gugatan perdata seperti wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, maupun dengan tuntutan pidana seperti penipuan dan lain sebagainya.

Jika suatu perusahaan asuransi telah nyata-nyata mengalami mengalami insolveny (keadaan tidak mampu membayar), maka sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Asuransi, Menteri Keuangan akan memberikan sanksi :

a.     Berupa peringatan (warning letter), dengan menyarankan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dapat melakukan tindakan hukum untuk mengantisipasi keadaan tersebut dengan melakukan merger, konsolidasi maupun akuisisi untuk menyelamatkan perusahaan asuransi tersebut;

b.     Pembatasan kegiatan usaha, artinya bahwa perusahaan tidak bias menjual polis baru dan terhadap polis yang lama harus segera dibayarkan;

c.     Pencabutan ijin usaha, terhadap sanksi ini menteri Keuangan tidak dapat mencabut ijin usaha karena belum ada dasar hukumnya (RUU masih dalam proses).

d.     Terhadap sanksi-sanksi diatas maka perusahaan asuransi diwajibkan untuk membuat laporan kepada Menteri Keuangan mengenai keadaan keuangan perusahaan baik inaudited maupun audited dan melaporkannya secara triwulan (tiga bulan) maupun tahunan. Terhadap laporan ini, Menteri Keuangan akan melihat dari keabsahan laporan yang dibuat oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan dengan melakukan langkah persuasive yaitu memanggil dan meminta keterangan pada perusahaan asuransi terhadap permasalahan pemohon pailit, jika perusahaan tidak melaksanakan himbauan dari Menteri Keuangan, maka permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi tersebut akan ditindaklanjuti.

Berbeda dengan bank yang memiliki Capytal Account Ratio  (CAR) hanya sebesar 8%, perusahaan asuransi memiliki batas resiko terendah ( Risk Based Capytal) sebesar 120 %, sehingga Menteri Keuangan sebagai Pembina dan pengawas perusahaan asuransi harus terus-menerus melakukan fungsi pengawasan dan pembinaan. Jika perusahaan asuransi mengalami insolvensi maka langkah pembinaan dan pengawasan itu harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Asuransi, maka Menteri Keuangan akan memberikan sanksi-sanksi diatas yaitu berupa Peringatan, Pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan ijin usaha. Namun khusus mengenai pencabutan ijin usaha belum diatur oleh Undang-Undang Asuransi bahwa apabila terdapat perusahaan asuransi yang telah dicabut ijin usahanya maka harus segera dibubarkan. Sementara bila pencabutan ijin usaha tersebut terjadi pada suatu bank, maka berlaku ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan PP No. 25 Tahun 1999 Tentang Pencabutan Ijin Usaha Pembubaran dan likuidasi Bank bahwa setelah 60 (enam puluh) hari Bank Indonesia akan membubarkan bank yang bersangkutan sehingga dengan demikian terdapat kepastian hukum bagi nasabah bank tersebut. Menteri Keuangan tidak bisa memaksa pemegang saham perusahaan asuransi untuk melakukan pembubaran perseroan. Disamping itu Menteri Keuangan pun juga tidak bisa membubarkan perusahaan asuransi melalui Pengadilan Negeri.

Undang-Undang kepailitan sepenuhnya belum memberikan perlindungan terhadap kepentingan pemegang polis yang terikat dalam perjanjian asuransi yang bersifat timbal balik dengan perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit.Undang-Undang Kepailitan yang berlaku sekarang ini masih bersifat mencegah terjadinya pemailitan secara mudah. Namun demikian tanpa sengaja Undang-Undang Kepailitan sebenarnya telah mengatur banyak hal berkaitan dengan tindakan-tindakan hukum yang bisa dilakukan oleh seorang tertanggung walau harus mengikatkan diri melalui kurator atau BHP dalam rangka melindunggi hak-haknya,antara lain:

1.    Memohon kepada curator untuk melakukan tindakan actio paulina

 Actio paulina adalah lembaga perlindungan hak kreditor dari perbuatan debitor pailit yang merugikan para kreditor, dalam kaitannya dengan kepailitan, action pauilina adalah semacam  legal recourse yang diberikan kapada kurator untuk membatalkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan debitur sebelum dilakukan penetapan pernyataan pailit dijatuhkan apabila kurator menganggap bahwa tindakan-tindakan hukum seperti perikatan-perikatan yang dilakukan debitor tersebut merugikan kepentingan para kreditor. Actio paulina menurut ketentuan pasal pasal 1341 KUHPerdata hanya dapat dilaksanakan jika syarat-syarat yang ditetapkan dalam pasal tersebut terpenuhi.syarat-syarat tersebut adalah:

a.     Kreditur harus membuktikan bahwa debitor melakukan tindakan yang tidak di wajibkan.

b.     Kreditor harus membuktikan bahwa tindakan debitor merugikan kreditor.

c.     Terhadap perikatan yang timbal balik yang di buat oleh debitor dengan suatu pihak tertentu dalam perjanjian, yang mengakibatkan berkurangnya harta kekayaan debitor, maka kreditor harus dapat membuktikan pada saat perjanjian itu dilakukan, debitor dan orang  yang dengannya debitor itu berjanji, mengetahui bahwa perjanjian itu mengakibatkan kerugian bagi para kreditor.

d.     Sedangkan untuk perjanjian atau perbuatan hukum yang bersifat cuma-cuma atau tanpa kontra prestasi dari pihak lain, cukuplah kreditor membuktikan bahwa pada waktu membuat perjanjian atau melakukan tindakan itu, debitor mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditor, tak peduli apakah orang yang di untungkan juga mengetahui hal itu atau tidak. Dengan hal demikian, actio paulina hanya dapat dilakukan dan di laksanakan berdasarkan putusan hakim pengawas pengadilan,dengan demikian berarti setiap pembatalan perjanjian apapun juga alasannya,pihak manapun juga yang mengajukan tetap menjadi wewenang pengadilan.

Undang-Undang Kepailitan mengatur ketentuan actio pauilina di dalam pasal 30,41 s/d pasal 47. Menurut pasal 41 dan 42 terdapat paling tidak empat syarat yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan action paulina yaitu:

a.    Debitor telah melakukan perbuatan hukum yang tidak wajib dilakukannya;

b.     Perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan pailit di ucapkan;

c.     Perbuatan hukum tersebut telah merugikan kepentingan para kreditur;

d.     Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepenuhnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian kepada para kreditor. Kurator atau BHP adalah satu-satunya pihak dapat membatalkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur  pailit berdasarkan konsep actio paulina. Berdasarkan wewenang tersebut, kurator secara aktif mempelajari dan menyelidiki seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur pailit sebelum terjadinya kepailitan, terutama terhadap perbuatan hukum yang dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum terjadi kepailitan.

Apabila lewat satu tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan wajib dicocokan untuk nilai yang berlaku satu tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.Demikian juga, kurator harus mendengar petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh panitia kreditur mengenai kemungkinan adanya perbuatan hukum yang dapat di batalkan dengan actio paulina. Semuanya itu dilakukan oleh kurator demi kepentingan kreditur.

2.    Meminta verifikasi atau pencocokan piutang


Proses pencocokan piutang adalah penentuan klasifikasi tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta pailit debitur, guna diperinci berapa besarnya piutang- piutang yang dapat di bayarkan kepada masing-masing kreditur, yaitu di klarifikasikan menjadi daftar piutang yang di akui atau yang sementara diakui. Proses pencocokan piutang ini dilakukan dalam suatu pentahapan yang disebut rapat verifikasi. Dalam proses ini, kreditur punya hak meminta dilakukan verifikasi atas piutangnya sesuai dengan kwitansi atas premi yang telah dibayarkan kepada debitur. Tentu saja piutang yang diajukan pencocokannya tersebut di klasifikasi lebih dahulu oleh kurator apakah termasuk dalam kelompok piutang yang diakui atau kelompok piutang yang sementara di akui. Bila piutang tertanggung tersebut masuk kategori diakui, maka selanjutnya akan mudah menentukan kedudukannya, apakah sebagai kreditur preferen atau konkuren. Apabila kedudukannya sebagai kreditur preferen, tentu saja pelunasan piutangnya tidak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian, karena dijamin oleh undang-undang untuk di dahulukan. Lain halnya bila tentang bersangkutan termasuk dalam daftar kreditur konkuren yang suka atau tidak suka harus bersaing dengan kreditur konkuren lainnya, sebab untuk jenis kreditur ini jumlahnya biasanya sangat banyak.berdasarkan urutan dan kedudukan itulah tertanggung baru bisa mendapatkan pembayaran hak-hak piutangnya sesuai dengan kwitansi atau bukti pembayaran premi yang pernah dilakukannya kepada penanggung yang pailit.

3.    Mengusahakan perdamaian (accoord) 

Ada dua jenis perdamaian yang dia atur dalam Undang-undang Kepailitan, yaitu perdamaian dalam kepailitan dan perdamaian dalam PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) pasal 114 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor (perdamaian dalam  kepailitan). Ketentuan yang sama juga bisa di jumpai dalam pasal 256 (perdamaian dalam PKPU), yang menyebutkan bahwa debitor berhak pada waktu mengajukan permohon PKPU atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada kreditor. Namun demikian, hak utama pengajuan tawaran rencana perdamaian dalam kepailitan (maupun dalam PKPU) berada di tangan debitur.

Walaupun terbuka kemungkinan tawaran perdamaian di ajukan oleh kreditur terutama dalam PKPU. Hal ini di atur dalam pasal Pasal 222 ayat (2) Undang-undang Kepailitan yang memberi kesempatan kepada Kreditor untuk mengajukan rencana perdamaian Perdamaian dalam kepailitan dilakukan setelah adanya putusan pailit, oleh karena itu inisiatif untuk melakukan perdamaian dalam kepailitan selalu datang dari pihak yang dipailitkan, baik untuk atas permohonan sendiri maupun atas permohanan dari para krediturnya. Sedangkan perdamaian dalam PKPU bermaksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren (lihat pasal. 212 Undang-undang kepailitan), bisa dilakukan atas inisiatif kreditur sehingga dalam proses ini para kreditur dimungkinkan untuk mendapatkan kembali hak-haknya, baik dalam bentuk kumpulan premi ataupun hak lain sebagai akibat dari terjadinya perikatan antara tertanggung dan penanggung seperti yang di janjikan dalam polis. Perdamaian akan berfaedah bagi kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur. Di satu pihak debitur pailit tidak usah membayar bagian-bagian lain dari tagihan itu dan harta kekayaan debiotr tidak di lelang. Debitor juga masih dapat  menjalankan perushaannya. Jika perdamaian tidak mencapai kata sepakat, barulah harta kekayaan debitur bisa di jual.

Di lain pihak perdamaian ini memberikan keuntungan bagi para kreditur, alasannya penyelesaian atau likuidasi kemungkinan akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Tidak ada jaminan bahwa semua tagihan-tagihan para kreditur akan bisa terpenuhi dari hasil pelelangan atau penjualan harta pailit. Sebaliknya, perdamaian biasanya menganjurkan pembayaran yang lebih tinggi dari pada pembayaran yang diharapkan dalam likuidasi atau pemberesan.

2.     Proses Kepailitan Pada Bank


Kepailitan adalah keadaan hukum yang ditetapkan oleh pengadilan niaga dimana seorang debitor tidak (tidak mampu ataupun tidak mau) membayar paling sedikit satu utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dan sebagai konsekuensi hukum dari kepailitan tersebut semua harta kekayaan debitor maupun yang ada pada saat pailit dan termasuk juga harta kekayaan yang akan datang berada dalam status sita umum yang dilakukan pengurusan dan pemberesannya oleh seorang atau lebih Kurator yang berada di bawah pengawasan Hakim Pengawas yang diangkat bersama dengan Kurator oleh pengadilan niaga. Dengan demikian, status pailit belum secara otomatis menyatakan bahwa Debitur Pailit tersebut telah berada dalam keadaan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya. Artinya, ketika debitur tersebut sebenarnya mampu untuk melunasi utang-utangnya kepada krediturnya, maka Debitur Pailit tersebut dapat mengajukan usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144 Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004. Apabila usulan perdamaian yang diajukan oleh Debitur Pailit tersebut ditolak oleh para krediturnya, atau Debitur Pailit tersebut ternyata tidak mengajukan usulan perdamaian, maka berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Kepailitan Tahun 2004 barulah debitur tersebut dinyatakan insolvensi, atau dalam keadaan yang tidak mampu untuk melunasi utang-utangnya kepada para krediturnya.

Dalam hal bank sebagai debitur, tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit disebabkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Tahun 1998).

Sehubungan dengan karakteristik lembaga perbankan yang mengelola dana masyarakat, apabila bank sebagai debitur berhubungan dengan soal kepailitan, maka:

a.     Pengajuan permohonan kepailitan tidak dapat diajukan sendiri oleh bank yang bersangkutan, karena didasarkan alasan untuk mencegah agar kondisi seperti itu digunakan oleh pemegang saham atau pemilik bank guna berupaya untuk menghindarkan diri dari tanggungjawab terhadap para kreditur, termasuk nasabah penyimpan dana;

b.     Apabila terjadi pencabutan izin usaha bank dan dilikuidasi, maka pembayaran atau pengembalian dana diutamakan kepada nasabah penyimpan dana daripada dengan kreditur konkuren lainnya, namun tetap dengan tidak mengabaikan pembayaran kewajiban kepada kreditur-kreditur yang harus diistimewakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;


c.     Bank yang telah dilikuidasi tetap tunduk pada ketentuan rahasia bank. (Muhamad Djumhana, 2003:215).

 Kegiatan usaha bank adalah menyangkut kepentingan orang banyak dan Bank Indonesia adalah bank sentral (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia menyatakan: “Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia”. Yang dimaksud dengan Bank Sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu Negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort (Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia) yang mengadakan pengawasan terhadap bank-bank yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah, jelasnya bank tersebut tidak berhak diajukan pailit dengan sendirinya.

Ketentuan yang berkaitan dengan kepailitan pada bank adalah Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan Tahun 2004 serta Pasal 9 ayat (3) UU Perbankan Tahun 1992, yang landasan hukum yang cukup kuat bagi Bank Indonesia untuk mengajukan kepailitan bagi bank bermasalah. Secara teori bank dapat dimohonkan pailit dengan melihat otoritas yang telah diberikan oleh UU Kepailitan, tetapi dalam praktek bank kebal pailit. Dengan demikian, dapat diartikan tidak memberikan kepastian hukum atas suatu peraturan perundang-undangan. Apalagi hal ini memungkinkan adanya faktor tertentu yang memanfaatkan otoritas tersebut. Realitas Bank Indonesia tidak pernah menjadi pihak dalam perjanjian kredit antara kreditor dan debitor, kecuali Bank Indonesia memberikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) maupun Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). (Sri Hariningsih, 2002:34)


Hal ini dikatakan Sri Hariningsih sebagai pemberlakuan standar ganda, karena Undang-Undang Kepailitan mengatur bank sebagai kreditor menghadapi debitor non bank dapat menjalankan haknya secara mandiri untuk mengajukan permohonan pailit, akan tetapi apabila debitor adalah bank hak untuk mengajukan permohonan pailit hilang. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan segala kewenangannya, maka sudah seharusnya hanya Bank Indonesia saja yang berhak untuk mengajukan kepailitan bagi bank bermasalah. Namun tidak menutup kemungkinan tindakan Bank Indonesia dilakukan atas permintaan pihak lain. (Sri Hariningsih, 2002:34) 

Untuk itu perlu adanya pembuatan suatu daftar tindakan yang memberikan pedoman kepada Bank Indonesia dapat mengajukan kepailitan pada bank bermasalah, baik dalam kedudukannya sebagai bank sentral maupun menfasilitasi kepentingan pihak lain. (Sri Hariningsih, 2002:35).

 
BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan


Perusahaan asuransi jika dipailitkan, maka semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau tulisannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda. Dalam rangka pemailitan perusahaan asuransi maka diperlukan suatu pendekatan yang berorientasi kebijakan hukum Kepailitan.

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan, Bank Indonesia diberikan untuk mengajukan kepailitan terhadap bank bermasalah. Kepailitan merupakan alternatif penyelamatan atau pemberesan harta pailit bank bermasalah melalui jalur Pengadilan Niaga jika tindakan-tindakan penyelamatan bank berdasarkan Undang-Undang Perbankan tidak berhasil menyelamatkan bank bermasalah. Namun, upaya kepailitan ini belum pernah dimanfaatkan oleh Bank Indonesia karena selama ini upaya likuidasi bank dianggap lebih pas untuk digunakan untuk menyelesaikan bank yang bermasalah. 


DAFTAR PUSTAKA


Sri Hariningsih, “Perbandingan Pengaturan Masalah Kepailitan PERPU 1/1998 jo. UU No. 4/1998 dengan RUU tentang Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 17 Januari 2002.

Tim Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, “Kewenangan dan Tanggung Jawab Bank Indonesia dalam Likuidasi dan Kepailitan Bank”, disampaikan pada Seminar Nasional “Kepailitan dan Likuidasi Bank” diselenggarakan oleh BI dan Fakultas Hukum Ubaya, 4 Oktober 2004 di Surabaya.

http://muhammadjamil05.blogspot.co.id/ (Diakses pada Senin, 28 November 2016)

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2296/mengapa-bi-yang-harus-ajukan-pailit-bank (Diakses pada Senin, 28 November 2016)

http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58958/Sejahterawan%20Budianto.pdf;sequence=1 (Diakses pada Senin, 28 November 2016)







No comments :

Post a Comment