Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Wednesday 12 April 2017

CONTOH MAKALAH HUKUM PERDATA ISLAM TENTANG SEWA-MENYEWA SYARIAH

1 comment
Makalah 

HUKUM PERDATA ISLAM
TENTANG SEWA-MENYEWA  SYARIAH



Nama     : Annisa

Kelas      : C5

Stambuk     : 040 2013 0208


FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, dan hidayahNya, saya dapat menyelesaikan Makalah Hukum Perdata Islam tentang Sewa-Menyewa (Ijaarah) Syariah . Semoga dengan membaca makalah  ini,  para pembaca akan lebih memahami sewa-menyewa dalam Islam. Kritikan dan saran yang membangun untuk saya demi kemajuan makalah ini sangat diharapkan.  Semoga makalah ini dapat bermanfaat.



        Penyusun,




DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................................     i

Daftar Isi .........................................................................................................................................     ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang..........................................................................................................................     1

B.    Rumusan Masalah.....................................................................................................................     2

C.    Tujuan......................................................................................................................................      2

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sewa-Menyewa (Ijaarah) dan Dasar Hukumnya...................................................    3

B.    Rukun dan Syarat Sewa-Menyewa (Ijaarah)............................................................................    6

C.    Sifat Akad dan Macam-Macam Sewa-Menyewa (Ijaarah) ....................................................   10

D.    Tanggungjawab Orang Yang Digaji/Upah................................................................................    11

E.    Akad Sewa-Menyewa (Ijaarah) Berakhir ................................................................................   12

BAB III PENUTUP

A.     Kesimpulan.............................................................................................................................     13

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejak manusia lahir kedunia sudah memerlukan materi (harta) sebagai bekal hidup, karena manusia perlu makan, pakaian dan papan (rumah tempat berlindung). Belum lagi keperluan lainnya, yang cukup banyak jumlahnya. Pada zaman lampau tuntutan hidup manusia tidak sebanyak sekarang ini. Sekarang banyak orang yang tergoda dengan melihat berbagai hasil teknologi modern dan ingin pula memilikinya. Karena pengaruh lingkungan, ada orang yang memaksakan dirinya utnuk mendapatkannya, walaupun pada hakikatnya belum dapat terjangkau. Naluri manusia pun memang ingin memiliki harta supaya keperluannya terpenuhi sebagaimana firman Allah SubhanallahuWata’aladalam Surah Ali-Imran ayat 14 :
Artinya :

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang  di ingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.

Didalam Islam dikenal konsep muamalah, Islam mengenai muamalah amat baik, karena menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya. Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat. Segala tindakan manusia yang bukan merupakan ibadah termasuk ke dalam kategori ini. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat .Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas dalam fiqih muamalah ialah ijaarah (sewa-menyewa). Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini yang menjadi objek transaksinya adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Untuk lebih jelasnya, didalam makalah ini akan di bahas permasalahan ijarah yang meliputi pengertian, dasar hukumnya, rukun dan syaratnya, sifat akad ijaaraah, macam-macam ijaarah, tanggungjawab orang yang di gaji/upah serta akad ijaaraah berakhir.

B.    Rumusan Masalah

1.    Bagaimana Pengertian Sewa-Menyewa (Ijaarah) dan Dasar Hukumnya?

2.    Apa Rukun dan Syarat  Sewa-Menyewa (Ijaarah)?

3.    Bagaimana Sifat Akad dan Macam-macam Sewa-Menyewa (Ijaarah)?

4.    Bagaimana Tanggungjawab Orang Yang di Gaji/Upah?

5.    Kapan Suatu Akad Sewa-Menyewa (Ijaarah) Berakhir?

C.    Tujuan Penulisan

1.    Untuk Mengetahui Pengertian Sewa-Menyewa (Ijaarah) dan Dasar Hukumnya.

2.    Untuk Mengetahui Rukun dan Syarat Sewa-Menyewa (Ijaarah).

3.    Untuk Mengetahui Sifat Akad dan Macam-macam Sewa-Menyewa (Ijaarah).

4.    Untuk Mengetahui Tanggungjawab Orang Yang di Gaji/Upah.

5.    Untuk Mengetahui Suatu Akad Sewa-Menyewa (Ijaarah) Berakhir.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sewa-Menyewa (Ijaarah) dan Dasar Hukumnya

1.    Pengertian Sewa-Menyewa (Ijaarah)

Secara bahasa ijaraah berasal dari bahasa arab “alijaaaratu” artinya upah, sewa, jasa atau imbalan. Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam muamalah adalah sewa-menyewa, kontrak, menjual jasa dan lain-lain. Ada beberapa definisi ijaarah yang dikemukakan para ulama :

a.    Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan :

“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan”.


b.    Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya:

“Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imbalan tertentu”.

c.    Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikannya:

“Pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan”.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka akad al-ijaarah tidak boleh dibatasi oleh syarat. Akad al-ijaarah juga tidak berlaku bagi pepohonan untuk diambil buahnya, karena buah itu adalah materi (benda), sedangkan akad ijaarah itu hanya ditunjukkan kepada manfaat saja. Demikian juga kambing dan sapi, tidak boleh dijadikan sebagai obyek ijaarah, untuk diambil susu atau bulunya (domba) karena susu dan bulu termasuk materi.

Jumhur ulama fikih juga tidak membolehkan air mani hewan ternak pejantan seperti sapi, kuda, kerbau dan kambing, karena mani itu adalah materi, yaitu untuk mendapatkan keseluruhan hewan tersebut, sebagaimana Sabda Rasulullah :

“Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam, melarang penyewaan mani hewan pejantan”. 

(HR. Bukhari, Ahmad Nasai dan Abu Daud).

Berbeda dengan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (ahli fikih Mazhab Hanbali), dia menyatakan bahwa pendapat jumhur ahli fikih tersebut kurang di dukung oleh Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan kias (analogi). Menurutnya, yang menjadi prinsip dalam masyarakat Islam adalah bahwa suatu materi yang berevolusi secara bertahap. Hukumannya sama dengan manfaat, seperti buah pada pepohonan dan susu pada kambing. Ibnu Qayyim menyamakan manfaat dengan materi dalam masalah “wakaf”. Menurutnya, manfaat pun boleh diwakafkan seperti mewakafkan manfaat rumah untuk ditempati dalam masa tertentu dan mewakafkan hewan ternak untuk dimanfaatkan susunya. Menurutnya, tidak ada alasan yang melarang untuk menyewakan (ijaarah) suatu materi yang hadir secara evolusi, sedangkan dasarnya (asalnya) tetap, seperti susu kambing, dan rumah itu tetap seperti sedia kla dan tidak berkurang.

2.    Dasar Hukum Sewa-Menyewa (Al-Ijaarah)

Ulama fikih berpendapat, bahwa yang menjadi dasar dibolehkan al-ijaarah adalah firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Surah Az-Zukhruf ayat 32 :


Artinya :

“Apakah mereka yang membagi rahmat Tuhannya? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Ulama fikih juga beralasan kepada firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Surah At-Thalaq ayat 6 :
Artinya :

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.

Allah berfirman dalam Surah Al-Qashash ayat 26 :


Artinya :

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".

Para Ulama fikih juga mengemukakan alasan Sabda Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam :

“Berilah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya.” (HR.Abd. Razaq dan Baihaqi).

Sabda Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam :

“Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah beritahu upahnya”.  (HR.Abd. Razaq dan Baihaqi).

Sabda Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam :

“Rasulullah Salallahu’alaihi Wassalam  berbekam, lalu beliau membayar upahnya kepada orang yang membekamnya”. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).

B.    Rukun dan Syarat Sewa-Menyewa (Ijaarah)

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, bahwa rukun ijaarah hanya satu yaitu ijab dan kabul saja (ungkapan menyerahkan dan persetujuan sewa-menyewa).

Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun ijaarah ada empat yaitu ;

1.    Orang yang berakal;

2.    Sewa/imbalam;

3.    Manfaat;

4.    Sighah (ijab dan kabul).

Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun yang dikemukakan oleh jumhur ulama diatas, bukan rukun tetapi syarat. Sebagai sebuah transaksi (akad) umum, ijaarah baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun syarat akad ijaraah yaitu :

1.    Syarat bagi kedua orang yang berakad, adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi’i dan Hambali). Dengan demikian, apabila orang itu belum atau tidak berakal, seperti anak kecil atau orang gila, menyewakan hartanya, atau diri merka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka ijaarahnya tidak sah.

Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak ang telah mumayyiz pun boleh melakukan akd ijaarah dengan ketentuan, disetujui oleh walinya.

2.    Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijaarah itu. Apabila salah seorang di antara jeduanya terpaksa melakukan akad, maka akadnya tidak sah. Sebagai landasannya adalah firman Allah Subhanallahu Wata’ala dalam Surah An-Nisa ayat 29 :







Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

3.    Manfaat yang menjadi obyek ijaarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan dibelakang hari. Jika manfaatnya tidak jelas, maka akad itu tidak sah. Dalam menentukan masalah waktu sewa, ulama Mazhab Syafi’i memberikan syarat yang amat ketat. Menurut mereka, apabila seseorang menyewakan rumahnya selama stau tahun dengan sewa Rp 1.000.000,-/bulan, maka kad itu batal karena dalam akad yang semacam ini diperlukan pengulangan akad baru setiap bulan dengan sewa baru pula.
 
Menurut mereka sewa-menyewa dengan cara diatas menunjukkan tenggang waktu sewa tidak jelas, atau satu tahun atau satu bulan.

Berbeda halnya, jika rumah itu disewa selama satu tahun dengan sewa Rp 10.000.000,- . jadi rumah itu dapat disewakan tahunan atau bulanan.

Berbeda dengan Jumruh ulama mengatakan, bahwa akad sewa semacam ini dianggap sah dan bersifat mengikat. Adapun bila seseorang menyewakan rumahnya selama satu dengan sewa Rp 1.000.000,-/bulan, maka menurut Jumhur ulama, akdnya sah untuk bulan pertama, sedangkan bulan selanjutnya, apabila kedua belah pihak saling rela membayar sewa dan menerima besar Rp 1.000.000,- maka kerelaan ini dianggap sebagai kesepakatan bersama sebagimana dengan bay’al-mu’athah, yaitu jual-beli tanpa ijab dan kabul, tetapi cukup dengan membayar uang dan mengambil barang yang dibeli.

4.    Obyek ijaarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh karena itu, ulama fikih sepakat mengatakan, bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak dapat diserahkan,dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Umpamanya, rumah atau tokok harus siap pakai atau tentu saja sangat tergantung kepada penyewa apakah mau dia melanjutkan akad itu atau tidak. Sekiranya rumah itu atau tokoh itudisewa oleh orang lain, maka setelah habis sewanya, baru dapat disewakan kepada orang lain.

5.    Obyek ijaarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh sya’ra. Oleh sebab itu ulama fikih sependapat, bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewakan orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau tempat prostitusi (pelacuran). Demikian juga tidak boleh menyewakan rumah kepada non-muslim untuk tempat mereka beribadat. Para ulama fikih berbeda pendapat dalam hal menyewa (menggaji) seorang mu’aazin, menggaji imam shalat dan menggaji seorang mengajar Al-Qur’an.

Ulama Mazhab Hanafidan Hambali mengatakan tidak boleh (haram hukumnya) menggaji mereka, karena pekerjaan seperti ini termasuk pekerjaan taat (dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah), dan terhadap perbuataan taat seseorang tidak boleh menerima gaji. Mereka beralasan kepada sesuatu riwayat dari Amr bin Ash, yang mengatakan :

“Apabila salah seorang di antara kamu dijadikan mu’aazin (di masjid), maka jangan kamu meminta upah atas azan tersebut”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan Nasai).

Berbeda dengan pendapat ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i bahwa seseorang boleh menerima gaji dalam mengajarkan Al-Qur’an karena mengajarkan tersebut merupakan suatu pekerjaan yang jelas. Alasan mereka adalah Sabda Rasulullah :

“Rasulullah Sallahu’alaihi Wasslam, menikahan seseorang laki-laki dengan mahar ayat Al-Qur’an yang dihafalkannya”. (HR. Bikhari,Muslim dan Ahmad).

Mahar biasanya bermakna harta. Disamping itu Rasulullah mengatakan ;

“Upah yang lebih berhak (pantas) kamu ambil adalah dari mengajarkan kitab Allah”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Berdasarkan Sabda Rasulullah diatas, ulama Mazhab Maliki berpendapat, bahwa boleh hukumnya menggaji seorang mu’aazin dan imam tetap pada suatu masjid. Imam shalat di masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi mendapat gaji tetap. Kemungkinan di masjid-masjid lain pun ada terjadi, sebab tugas itu menjadi tugas rutin.

Ulama Mazhab Syafi’i tidak membenarkan menggaji imam shalat. Seluruh ulama fikih sepakat mengatakan, bahwa seseorang boleh menerima gaji untuk mengajar berbagai disiplin ilmu, karena mengajarkan seluruh ilmu itu bukanlah kewajiban pribadi, tetapi kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Selanjutnya terdapat pula perbedaan pendapat ulama mengenai upah dalam penyelenggaraan jenazah, seperti memandikannya, mengkafani dan menguburkannya. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan, tidak boleh menggambil upah, karena hal itu sudah merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bukan kewajiban pribadi (fardhu ain).

6.    Objek ijaarah meupakan sesuatu yang bisa disewakan, seperti  rumah, mobil, hewan tunggangan dan lain-lain.

7.    Upah/sewa dalam akad ijaarah harus jelas, tertentu dan bernilai harta. Namun, tidak boleh barang yang diharamkan oleh syara’.

C.    Sifat Akad dan Macam-Macam Sewa-Menyewa (Ijaarah)

1.    Sifat Akad Sewa-Menyewa (Ijaarah)


Ulama Fikih berpendapat, apakah obyek ijaarah bersifat mengikat atau tidak?
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa akad ijaarah itu bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak, apabila terdapat ‘uzur seperti meninggal dunia atau tidak dapat bertindak secara hukum seperti gila.

Jumhur ulama berpendapat bahwa,akad ijaarah itu bersifat mengikat,kecuali ada catat atau barang itu tidak dapat dimanfaatkan. Sebagai akibat dari pendapat yang berbeda ini adalah kasus, salah seorang yang berakad meninggal dunia. Menurut Mazhab Hanafi, apabila salah seorang meninggal dunia maka akad ijaarah menjadi batal, karena manfaat tidak dapat diwariskan kepada ahli waris. Menurut Jumhur ulama, akad itu tidak menjadi batal karena manfaat menurut mereka dapat diwariskan kepada ahli waris. Manfaat juga termasuk harta.


2.    Macam-Macam Sewa-Menyewa (Ijaarah)

Dilihat dari segi obyeknya ijaarah dapat dibagi menjadi dua macam : yaitu ijaarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan,

1).    Ijaarah yang bersifat manfaat. Umpamanya, sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian (pengantin), dan perhiasan.

2).     Ijaarah yang bersifat pekerjaan, ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijaarah semacam ini dibolehkan seperti buruh bangunan, tukang jahit, tukang sepatu, dan lain-lain, yaitu ijaarah yang bersifat berkelompok (serikat)/ Ijaarah yang bersifat pribadi juga dapat dibenarkan seperti menggaji pembantu rumah, tukang kebun, dan satpam.

D.     Tanggungjawab Orang  Yang Digaji/Upah

Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi lain dan kelompok (serikat), harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian atau kesengajaan atau tidak? Jika tidak, maka tidak perlu diminta penggantiannya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya.

Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.

Imam Abu Hanifah, Zubair bin Huzain dan Syafi’i berpendapat, bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian, maka para pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah), berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggungjawab atas kerusakan tersebut, baik yang sengaja atau tidak. Berbeda tentu, kalau terjadi kerusakan itu diluar batas kemampuannya seperti banjir besar atau kebakaran.

Menurut Mazhab Maliki apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti tukang batu, juru masak, dan buruh angkut (kuli), maka baik sengaja maupun tidak sengaja segala kerusakan menjadi tanggungjawab pekerjaan itu dan wajib ganti rugi.

E.     Akad Sewa-Menyewa (Ijaarah) Berakhir

Suatu akad ijaarah berakhir apabila:

1.    Objek hilang atau musnah seperti rumah terbakar;

2.    Habis tenggang waktu yang disepakati;

3.    Menurut Mazhab Hanafi, akad berakhir apabila salah seorang meninggal dunia, karena manfaat tidak dapat diwariskan. Berbeda dengan Jumhur ulama, akad tidak berakhir (batal) karena manfaat dapat diwariskan;

4.    Menurut Mazhab Hanafi, apabila ada uzur seperti rumah disita maka akad berakhir.Sedangkan Jumhur Ulama melihat, bahwa uzur yang membatalkan ijaarah itu apabila objeknya mengandung cacat atau manfaatnya hilang seperti kebakaran dan dilanda banjir.


BAB III
 PENUTUP



A.    Kesimpulan


1.    Pada dasarnya, ijaarah atau sewa-menyewa di definisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan imbalan tertentu. Ada yang menerjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa ( upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa yaitu mengambil manfaat dari barang yang dipersewakan. Dasar hukum ijaarah berasal dari firman Allah salah satunya dalam Surah Al-Qashash ayat 26 dan Sabda Rasulullah : “Berilah upah/jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringatnya.” (HR.Abd. Razaq dan Baihaqi).

2.    Rukun ijaarah ada empat yaitu : Orang yang berakal, Sewa/imbalam, Manfaat, Sighah (ijab dan kabul). Sedangkan syarat ijaarah yaitu : adanya orang yang berakad, kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijaarah itu, manfaat yang menjadi obyek ijaarah harus diketahui secara jelas, obyek ijaarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya, obyek ijaarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh sya’ra, objek ijaarah meupakan sesuatu yang bisa disewakan, dan upah/sewa dalam akad ijaarah harus jelas.

3.    Akad ijaarah bersifat mengikat kedua belah pihak, tetapi dapat dibatalkan secara sepihak, apabila terdapat ‘uzur seperti meninggal dunia atau tidak dapat bertindak secara hukum seperti gila. Dilihat dari segi obyeknya ijaarah dapat dibagi menjadi dua macam : yaitu ijaarah yang bersifat manfaat dan yang bersifat pekerjaan.

4.    Tanggungjawab orang yang digaji/upah, jika sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian atau kesengajaan atau tidak? Jika tidak, maka tidak perlu diminta penggantiannya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya.

5.    Akad ijarah berakhir apabila: Objek hilang atau musnah seperti rumah terbakar,habis tenggang waktu yang disepakati, apabila salah seorang meninggal dunia, dan ada uzur seperti rumah disita maka akad berakhir.

DAFTAR PUSTAKA

M. Ali Hasan,2004, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat),Jakarta: PT. Gaja Grafindo Persada.

http://kurniawaalex.blogspot.co.id/2014/10/makalah-sewa-menyewa.html
(Diakses pada Selasa, 01 November 2016).

http://alimpolos.blogspot.co.id/2015/07/makalah-sewa-menyewa-akad-al-ijarah.html
(Diakses pada Selasa, 01 November 2016).

http://tafsirq.com (Diakses pada Selasa, 01 November 2016)


1 comment :

  1. "Zapplerepair pengerjaan di tempat. Zapplerepair memberikan jasa service onsite home servis pengerjaan di tempat khusus untuk kota Jakarta, Bandung dan Surabaya dengan menaikan level servis ditambah free konsultasi untuk solusi di bidang data security, Networking dan performa yang cocok untuk kebutuhan anda dan sengat terjangkau di kantong" anda (http://onsite.znotebookrepair.com)
    TIPS DAN TRICK UNTUK PENGGUNA SMARTPHONE

    ReplyDelete